Jumat, 25 Desember 2009

Momentum Iedul Qurban tahun ini membuat saya membaca berulang kali beberapa literatur tentang pengorbanan yang dilakukan Ibrahim Alaihis-salam. Saya yakin, anda sudah mengetahui hal ini. Saya mendalami makna cinta yang begitu kuat dalam hati Ibrahim As kepada Tuhannya, hingga ia rela mengorbankan apa saja yang terbaik miliknya demi mempertahankan kecintaan yang luar biasa itu.
Membahas tentang pengorbanan berjuang di jalan Allah, ada satu kisah yang hendak saya sampaikan atas perjalanan hidup yang Allah hadiahkan kepada saya.

Dompet Dhuafa Kaltim mengundang saya untuk berpartisipasi dalam acara yang mereka buat demi membantu saudara-saudara korban gempa bumi di Sumatera Barat pada medio Oktober lalu. Tiket sudah dipesan, acara telah dirancang, hanya menunggu hari 'H'. Tanggal yang dimaksudpun tiba.
Seperti perjalanan ke luar kota sebelum-sebelumnya, saya menganggap bahwa ini adalah perjalanan dakwah biasa-biasa. Namun ternyata tidak!
Pesawat dikabarkan delayed 30 menit. Sebab saya merasa lapar saat itu, maka saya pun pergi mencari makan. Begitu saya kembali ke ruang tunggu rupanya sudah sepi, dan saya diberitahu bahwa pesawat sudah menutup pintu dan hendak berangkat beberapa saat.
Sedikit 'nerved', saya berargumen kepada petugas bahwa saya tidak mendengar panggilan atas nama saya atau pemberitahuan bahwa pesawat akan diberangkatkan. Setelah berupaya menghubungi pihak pesawat, petugas itu pun memberitahukan saya bahwa saya bisa naik ke pesawat. “Alhamdulillah. ..!” pekik saya. Andai saya tertinggal pesawat, maka tak bisa dibayangkan kekecewaan panitia penyelenggara di Balikpapan.

Beberapa saat kemudian, pesawat tiba di bandara Sepinggan, Balikpapan. Saya dijemput oleh perwakilan panitia. Dalam perjalanan menuju hotel, saya menanyakan lokasi acara. Mereka memberitahukan bahwa acara digelar di masjid Istiqomah. Saya bertanya , “Apa ada jemaahnya... bukankah ini malam minggu dan acara digelar pukul 20?” Dengan santai panitia menjawab, “Tenang pak...., insya Allah jemaahnya banyak. Sudah beberapa kali masjid ini bikin acara pada waktu serupa, Alhamdulillah jemaah antusias untuk datang.” Saya sedikit terhibur mendapat jawaban itu.

Rupanya benar dugaan saya, jemaah yang saya harap akan banyak hadir rupanya hanya memenuhi kira-kira seperempat dari kapasitas ruang masjid. Banyak terlihat 'space' melompong di sana-sini. Agak sedikit prihatin dengan jumlah jemaah yang ada, dan saya berpikir keras tentang target penggalangan dana panitia, maka saya pun berujar dalam hati, “Ya Allah, semoga kami mampu memberi yang terbaik di jalan-Mu!”
Jujur saja, sebelum memulai menyampaikan materi, saya sedikit pesimis akan dana yang hendak digalang. Namun berulang kali saya berhenti berceramah untuk sekedar meluruskan niat Lillahi Ta'ala.

Maka saat penggalangan dana pun tiba. Saya melihat mereka semua antusias mengulurkan tangan memberi bantuan. Namun lagi-lagi karena jumlah audiens yang sedikit saya merasa khawatir akan jumlah dana yang tidak akan menyentuh target.
Alhamdulillah. .. dana terkumpul beberapa belas juta rupiah malam itu, namun jumlah itu saya yakin masih jauh dari target panitia.

Hanya kepada Dia Yang Maha Agung, kita sepantasnya berserah diri.

Malam itu bagi saya bukanlah sebuah prestasi dakwah yang menggembirakan. Saya sedikit prihatin dan kecewa. “Mengapa hanya segini rezeki yang Allah karuniakan dalam majelis kita?” batin saya.

Namun rupanya kekhawatiran itu segera dijawab Allah Swt. Seorang panitia datang kepada saya memberitahukan bahwa ada seorang jemaah hendak minta waktu untuk berbicara.
Setelah saya bersedia maka jemaah tersebut dipersilakan dan kami pun duduk berdua di karpet masjid.

Dia adalah seorang anak muda berusia 27 tahun, sebutlah namanya Hakim. Dari wajahnya saya melihat ada sinar yang Allah pancarkan ke dalam hatinya.
Ia mengajak bicara beberapa menit sebagai pembuka. Saat saya tanya apa keinginannya, maka Hakim berkata, “Tadi bapak dalam ceramah menyampaikan berulang-ulang untuk memberi yang terbaik di jalan Allah.” “Ya, betul!”jawab saya.
Hakim melanjutkan, “Tadinya saya ingin memberikan hape saya ini sebagai infak...” Kalimat dari mulutnya terputus. Ada jeda beberapa detik bagi Hakim untuk menyambung kalimatnya. Saya pun penasaran menunggu selama itu.
“Namun setelah pikir-pikir, sepertinya saya urung memberi hape ini” jelas Hakim.
“Lalu apa yang hendak Anda sampaikan kepada saya?” saya bertanya kepadanya. Hakim pun menjawab, “Setelah saya berpikir ulang, maka saya mendapati bahwa harta terbaik yang saya miliki bukanlah hape, tapi saya mohon bapak menerima ini sebagai infak dari saya!”
Maka Hakimpun menjulurkan tangannya kepada saya seolah ingin berjabat, dan saya pun menyambut tangannya yang terulur.
Namun saya merasa ada sebuah benda cukup besar yang terselip antara telapak tangan kami. Saya bertanya kepada Hakim, “Apa ini?” Dia menjawab, “Itu harta terbaik yang bisa saya infakkan, pak!”
Saya pun membuka telapak tangan saya. “Subhanallah. ..!” saya terperanjat. Kini ditelapak tangan saya ada sebuah kunci mobil.
Saya terkagum, terpesona, dan sesaat terbungkam. Betapa terperanjat hati saya sehingga bola mata terasa hendak meloncat saat menerima infak sebesar ini.
Seketika itu juga hati saya berbunga sebab merasa terhibur dengan anugerah luar biasa yang Allah berikan kepada saya.
Dana yang telah digalang malam itu yang bernilai hanya beberapa belas juta rupiah, rupanya dilengkapi Allah Swt dengan sebuah mobil milik Hakim yang ia infakkan dengan harga saya yakin lebih dari 100 juta rupiah.

Hakim, 27 tahun memberikan harta terbaik yang ia miliki untuk membantu saudara-saudaranya yang menjadi korban gempa di Sumatera Barat.
Ia berkorban dengan sepenuh hati dan kesadaraan penuh. Meski mungkin kini ia belum punya mobil lagi, namun saya yakin hatinya sudah setenang nabiyullah Ibrahim Alaihis-salam saat hendak mengorbankan anaknya tercinta. Ya, ketenangan dan kedamaian yang diberikan kepada Ibrahim As dari Allah Swt yang kagum atas pengorbanan hamba-Nya.
disadur dari Boby.

salam

Ruh Ma'rifat

Dari Anas bin Malik ra: Rasulullah Saw, bersabda:
“Islam itu jelas (lahiriah), dan Iman itu ada dalam qalbu, sedangkan Taqwa di sini.”

Rasulullah Saw, mengulang sampai tiga kali sambil menunjuk dengan tangannya ke arah dada beliau. Taqwa yang menetap
di qalbu, lalu membuat iman menjadi kokoh, adalah ruh ma’rifat
itu sendiri.”
Saudaraku yang mulia! Sesungguhnya Allah Swt, menjadikan segalanya dengan kepastian, dan setiap kepastian itu ada batasan, dan setiap batasan ada sebabnya, setiap sebab ada waktunya, dan setiap waktu ada ketentuannya, setiap ketentuan ada perintah, setiap perintah ada makna, dan setiap makna ada benarnya, setiap yang benar ada kebenarannya, dan setiap kebenaran ada hakikatnya, setiap hakikat ada ahlinya, dan setiap ahlinya ada tandanya.
Dengan tanda itu bisa diketahui siapa yang berbuat benar dan siapa yang berbuat batil. Setiap qalbu didudukkan di hamparan perwujudan ma’rifat, dimana kema’rifatan itu memantul pada wajahnya dan berpengaruh pada gerak gerik lahiriahnya, tindakan dan ucapannya, sebagaimana firman Allah Swt :

“Kamu sekalian mengenal mereka dengan tanda-tanda mereka.”

Rasulullah Saw, bersabda:

“Siapa yang menyembunyikan rahasia jiwa, Allah memakaikan padanya pakaian rahasia jiwa. Jika ia baik, maka menjadi baik.
Jika ia buruk, maka jadi buruk.”


Sebaik-baik pekerti: Kaum Sholihin
Yahya bin Mu’adz ra, ditanya, “Bagaimana pekerti kaum ‘arifin bisa menjadi elok wajahnya, dan lebih kharismatik dibanding
yang lain?”
“Karena mereka menyendiri bersama Allah penuh dengan kemesraan. Mereka mendekat kepada Allah Swt, menghadap total, dan berangkat kepadaNya penuh kepatuhan. Maka Allah Swt, memberikan pakaian cahaya ma’rifatNya kepada mereka, yang didalamNya mereka bicara, dan bagiNya mereka beramal, dariNya mereka mencari, kepadaNya mereka bersukacita. Merekalah kaum istimewaNya (khawash) yang terdepan. Langkahnya dalam taat kepada Allah Swt, tanpa sedikit pun bergantung pada lainNya, dan mereka menasehati khalayak umum tanpa sedikit pun ada pamrih.

Mereka senantiasa merindu, kembali kepada Allah Swt, qalbunya penuh rasa takut, jiwanya penuh rasa gentar, hati mereka adalah IstanaNya, akal mereka terselubungi, ruh mereka membubung luhur, dan semuanya terlindungi dengan hatinya dari fitnah manusia.
Dzikir mereka menjaganya dari was-was buruk, dadanya melapang luas, dan jasadnya terbuang dari khalayak, qalbunya terluka, sedang pintu-pintu alam malakut senantiasa terbuka bagi mereka. Qalbu mereka bagai pelita. Anggota badan mereka tunduk bagai terikat kuat, lisannya sibuk membaca Al-Qur’an, romannya menguning karena ketakutan akan jauh dari Allah Swt, dan jiwanya tercurah bagi khidman pada Ar-Rahman, hatinya terpancarkan cahaya iman, jiwanya sibuk mencari, ruhnya sibuk mendekat Tuhan. Sedang pada ucapannya ada sifat menunjukkan kepada Ketuhanan Allah Swt, pada tiang-tiang dirinya penuh kelanggengan khidmah, dan pada jiwanya ada pengaruh kehambaan, dalam hatinya ada kharisma Fardaniyah, dalam rahasia batinnya ada hasrat membubung ke Uluhiyah, sedang dalam ruhnya ada keterpesonaan pada Wahdaniyah.

Bergantungnya kaum ‘arifin dengan Allah swt.
Bibir-bibir mereka senantasa tersenyum kepadaNya. Mata mereka senantiasa memancar kepadaNya. Qalbu-qalbu mereka terus bergelayut kepada Allah Swt, hasrat mereka sinambung kepadaNya, rahasia batin mereka terus menerus memandangNya. Mereka melemparkan dosa-dosa mereka ke samudera taubat, dan mereka menghamburkan kepatuhannya ke samudera anugerah. Mereka buang gerak gerik batinnya ke lautan Keagungan. Dan kehendak mereka terlempar ke lautan sucinya jiwa, bahkan hasrat mereka adalah samudera mahabbah.

Di medan khidmah kepadaNya mereka berlalu lalang. Di bawah payung kemuliaan mereka saling merenda keindahan.
Dan di taman rahmatNya mereka merambat, lalu mereka mencium aroma anugerah yang wangi.
Mereka memandang dunia dengan mata perenungan, memadang akhirat dengan mata penantian, memandang nafsunya dengan mata hina, memandang taatnya dengan mata penuh kekurangan, bukan dengan mata merasa amal.

Mereka memandang ampunan dengan mata kebutuhan, memandang ma’rifat dengan mata kegembiraan, memandang Yang Di ma’rifati Allah Swt, dengan mata kebanggan. Mereka melemparkan nafsunya dalam negeri cobaan, dan melemparkan ruhnya ke negeri akhirat kemudian, qalbu-qalbu mereka menuju keluhuran dan kharisma, lisan mereka sumber puja dan pujian, ruh mereka adalah tempat-tempat rindu dan cinta, sedangkan nafsu mereka dikendalikan oleh akal dan kecerdasan.
Hasrat mereka lebih banyak untuk kontemplasi dan tafakkur. Ucapan terbanyak mereka adalah memuja dan memujiNya. Amal mereka adalah taat dan khidmah. Pandangan mereka hanya kelembutan dibalik ciptaan Rabbul Izzah Swt.

Diantara mereka anda lihat pucat menguning wajahnya karena rasa takut pisah denganNya, sendi-sendinya gemetar karena Kharisma KebesaranNya. Begitu panjang mereka menunggu penuh rindu bertemu denganNya. Mereka menempuh Jalan Al-Musthafa. Mereka lempar dunia ke belakang tengkuknya. Mereka rasakan kesenangan nafsu sebagai konsumsi kehampaan. Mereka lebih berteguh pada pijak telapak keserasian yang benar.

Perilaku pecinta pada Tuannya.
Perilakunya di dunia selalu asing. Qalbunya di dadanya merasa gersang. Rahasia batinya dalam nafsunya juga terasing. Sang pecinta tak pernah istirahat dari kegundahan keterasingan dan kegentarannya, sepanjang ia belum sampai pada Sang Kekasih. Perkaranya aneh. Sedang Allah Swt adalah penyembuhnya. Ucapannya senantiasa penuh dengan limpahan ekstase, qalbunya menyendiri, akalnya serba Allah Swt (Rabbani), hasratnya serba bergantung padaNya (Shomadani), hidupnya ruhani, amalnya Nuraniyah, dan ucapannya serba langit (samawiyah).
Allah Swt, jadikan hatinya tempat rahasiaNya, tempat pandanganNya, lalu diriasnya dengan keelokan hiasan RububiyahNya, dan dimasukkan ke negeri aturan dari kekuasaanNya.

Ia berputar mengitari keagunganNya dengan nurani qalbunya, dan membubung tinggi ke Taman SuciNya, lalu terbang dengan sayap-sayap ma’rifat menuju kemah-kemah rahasiaNya,
berjalan ke meda-medan qudratNya, menembus hijab JabarutNya.
Seandainya orang bodoh melihatnya, ia mati seketika, setelah mengenalnya ketika itu. Tandanya, bencana dunia baginya adalah madu. Kegelisahan adalah buah ranum indah, ketika di akhirat setiap orang berkata: Oh nasibku…duhai nasibku! Sedangkan
ia malah berkata: Rabbi…Rabbi..! Engkaulah hasrat kehendakku…hasrat citaku…!
Sang arif punya empat tanda:
• Cintanya kepada sang Maha Agung
• Meninggalkan apapun yang banyak maupun yang sedikit,
• Mengikuti jejak At-Tanzil (Qur’an dan Sunnah)
• Ketakutannya jika ia harus berpindah dari Tuhannya.
Sang hamba punya bagian. Sang penakut punya rasa ingin lari. Sang pecinta punya asmara. Sang arif punya kegirangan. Wallahualam Bishawab.


salam

Pengajian Syeikh Abdul Qadir al-Jilany,

Syeikh Abdul Qadir Al-Jilany - Pengajian Syeikh Abdul Qadir al-Jilany,
hari Selasa bulan Sya’ban tahun 545 H di Madrasahnya

Belajarlah, lalu amalkan, dan ikhlaslah dalam beramal, hingga anda bisa tajrid (menepiskan) makhluk dari hatimu. “Katakankan: “Allah”. Lalu tinggalkan mereka dalam kesesatanannya mereka bermain.”
(Al-An’aam: 91)

Seperti ungkapan Nabi Ibrahim as:
“Sesunggunya mereka itu musuh bagiku, kecuali Tuhan semesta alam.” (Asy-Syu’ara’: 77)

Hindari makhluk (dari hatimu) dan singkirkan mereka sepanjang mereka membuatmu berbahaya. Bila tauhidmu sudah benar dan kotoran syirik keluar dari hatimu, baru anda bergaul dengan mereka dan memberikan manfaat pada mereka melalui pengetahuan dan petunjuk menuju Pintu Tuhan mereka Azza wa-Jalla.

“Kematian” diri seorang Ulama’ Khos adalah mati dari totalitas makhluk Allah, yaitu kematian hasrat dan ikhtiarnya sendiri. Jika seseorang benar dalam kematian ini, benar pula hidupnya yang abadi bersama Allah Azza wa-Jalla. Maka pada saat itlah anda merasakan betapa kematian lahiriyah hanya sejenak belaka, seperti ketaksadaran dalam tidur, lalu bangun.
Bila anda ingin meraih kematian ini, anda harus meraih inti ma’rifat dan taqarrub serta tidur di hamparan Al-Haq Azza wa-Jalla, hingga dirimu diraih oleh Tangan Rahmat dan Anugerah, lalu anda hidup dalam keabadian. Karena nafsu butuh makanan, qalbu juga butuh makanan, begitu pula rahasia qalbu juga butuh makanan. Di sinilah Nabi saw, bersabda:
“Aku sebenarnya berlindung pada Tuhanku, lalu Dia memberi makan dan minum kepadaku.” (Hr Ahmad)

Yakni makanan rahasia maknawi, yang dimakan oleh ruhku yang ruhani, lalu Dia memberi konsumsi dengan makanan yang spesial padaku.
Pada awalnya menanjak dengan lahiriyahnya dan qalbunya, setelah itu lahiriyahnya terhadang dan hatinya yang menanjak serta rahasia hatinya, baru beliau hadir di tengah publik manusia. Begitu pula para pewaris Nabi saw, yang secara hakiki memadukan antara ilmu, amal, keikhlasan dan pendidikan terhadap makhluk.
Wahai kaum Sufi, makanlah dan minumlah dari sisa-sisa mereka…! Wahai orang yang mengaku berpengetahuan. Apa artinya pengetahuan tanpa amaliah, dan apa artinya amal tanpa keikhlasan, karena amal tanpa ikhlas ibarat jasad tanpa ruh.

Tanda keikhlasan anda, manakala anda tidak menengok lagi pada pujian makhluk, juga tidak terpengaruh oleh cacian mereka, bahkan tidak berharap pada jasa makhluk. Bahkan anda melakukannya demi menegakkan Hak Ketuhanan. Anda beramal bagi Sang Pemberi nikmat, bukan demi nikmatNya. Hanya bagi Sang Pemilik, bukan pada milikNya. Bagi Yang Haq, bukan pada yang batil.
Apa yang ada di sisi makhluk hanyalah kulit, sedangkan isinya ada pada Tuhan Azza wa-Jalla. Jika kejujuran hatimu dan ikhlasmu benar bagiNya, dan wukufmu di hadapan Rabb benar, Allah memberi konsumsi dirimu dari minyaknya isi tersebut. Dan anda diperlihatkan isi sejati, dan rahasianya rahasia, maknanya makna, maka saat itulah anda lepas dari segala hal selain Allah swt.

Lepas telanjang hanya di hati bukan di fisik. Zuhud itu bagi hati, bukan jasad. Berpaling itu hanya pada batin, bukan pada dzohir. Memandang itu pada makna-maknanya bukan pada kerangkanya. Memandnag itu pada Al-Haq Azza wa-Jalla, bukan pada makhluk. Yang urgen adalah bagaimana anda bersama Allah bukan bersama makhluk. Maka akhirat dan dunia sirna, lalu tanpa dunia dan tanpa akhirat. Tak ada selain Dia Azza wa-Jalla.

Maka, para pecinta menikmati kecintaannya bersama Allah Azza wa-Jalla, mereka adalah kalangan terpilih dari makhlukNya, disebabkan cobaan yang menimpa mereka secara fisik. Orang-orang syuhada’ adalah orang yang mati berperang akibat pedang orang kafir, dimana cobaan fisik menimpa mereka. Bagaimana dengan Syuhada’ yang mati karena pedang-pedang cinta? Wallahualam Bishawab.

Salam

Diriwayatkan pada sebagian kitab Allah Swt:
Bahwa Jibril as, sedang turun ke bumi. Lantas ia melihat sosok lelaki yang memiliki pancaran ketenangan.
“Betapa hebat lelaki ini,” kata Jibril.
Kemudian Allah Ta’ala berfirman pada Jibril, “Hai Jibril! Lihat namanya di Lauhul Mahfudz yang berderet dengan nama-nama
ahli nereka!”
“Tuhanku, lalu apakah semua ini?” Tanya Jibril.
“Hai Jibril! Sesungguhnya Aku tidak dimintai pertanggung-jawaban apa yang Kulakukan, dan tak seorang pun tahu dari semua makhlukKu apa pun PengetahuanKu, kecuali yang Aku kehendakinya…” jawab Allah Ta’ala.
“Oh Tuhan, apakah Engkau meberi izin padaku untuk memberi informasi atas apa yang aku ketahui?”
“Silahkan, engkau dapat izin…” jawab Allah Ta’ala.
Jibril as lalu turun ke bumi memberi kabar apa yang sesungguhnya terjadi dan bagaimana situasi sebenarnya yang menimpa orang itu. Tiba-tiba orang itu malah bersujud, sembari bermunajat, “Bagimulah segala puji wahai Tuhanku atas ketentuanMu dan takdirMu. Pujian yang melebihi pujian orang-orang yang memujiMu, dan semakin tinggi dibanding syukurnya orang-orang yang bersyukur.”

Orang itu terus memuji Allah Ta’ala hingga Jibril as menduga bila orang tadi tidak mendengar apa yang telah disampaikan.
“Hai hamba Allah, apakah kamu mendengar apa yang ku ucapkan?” Tanya Jibril as.
“Ya, aku mendengar. Engkau memberi kabar bahwa engkau telah mendapatkan diriku berada diantara deretan daftar ahli neraka di Lauhul Mahfudz sana…”
“Lalu kenapa masih saja memujiNya dan bersyukur padaNya?” Tanya Jibril penasaran. “Subhanallah wahai Jibril! Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menentukan dengan sepenuh kesempurnaan ilmuNya, dan keleluasaan rahmat dan kasihNya, dengan kelembutan RububiyahNya, serta hakikat hikmahNya. Lalu apalah artinya aku sampai aku tidak rela? Maha Berkah Allah Tuhanku….”
Lalu orang itu sujud kembali, dan terus menerus bertasbih
dan bertahmid. Kemudian Jibril as, kembali kepada Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman pada Jibril, “Kembalilah ke Lauhul Mahfudz, dan lihatlah apa yang bakal kau lihat….” Jibril kembali ke Lauhul Mahfudz, tiba-tiba nama orang tersebut berderet dengan daftar nama-nama ahli syurga.Wallahu alam Bishawab.

salam

Sabtu, 14 November 2009

Puasa Sunnah dan Permintaan Suami

Para fuqaha bersepakat disunnahkannya berpuasa hari-hari yang delapan sejak hari pertama dzulhijjah sebelum hari arafah berdasarkan hadits Ibnu Abbas marfu’,”Tidaklah ada hari-hari yang beramal shaleh didalamnya lebih dicintai Allah dari pada hari-hari ini—yaitu sepuluh hari—para sahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, tidak pula jihad di jalan Allah? Beliau saw menjawab,”tidak pula jihad di jalan Allah kecuali seorang yang keluar dengan jiwa dan harta lalu orang itu tidak kembali dengan membawa itu semua sama sekali.”

Para ulama Hambali mengatakan bahwa termasuk pula hari kedelapan yaitu hari tarwiyah. Para ulama Maliki berpendapat bahwa puasa hari tarwiyah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu. Para ulama Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa berpuasa pada hari-hari itu bagi seorang yang berhaji juga disunnahkan. Sementara para ulama Maliki mengecualikan dari hari-hari itu adalah hari tarwiyah bagi seorang yang berhaji. Didalam “al Matithiyah” disebutkan bahwa makruh bagi seorang yang berhaji berpuasa sunnah di Mina dan Arafah. Al Hatthob mengatakan bahwa Mina adalah hari tarwiyah, dia dinamakan juga dengan hari Mina. (al Mausu’ah al FIqhiyah juz II hari 9989)

Dari penjelasan diatas tidak satu pun ulama yang mengatakan bahwa puasa hari-hari pertama dari bulan dzulhijjah termasuk didalamnya puasa tarwiyah adalah kewajiban. Sementara itu diwajibkan bagi seorang isteri untuk menaati suaminya didalam perkara-perkara yang tidak ada maksiat didalamnya.

Firman Allah swt :


فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً


Artinya : “Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (QS. An Nisaa : 34)

Sabda Rasulullah saw,”Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk berhubungan kemudian dia tidak menyambutnya sehingga malam itu suaminya tidur dalam keadaan marah terhadapnya maka para malaikat akan melaknatnya hingga waktu shubuh.” (Muttafaq Alaih)


Sabda Rasulullah saw,”Seandainya aku (dibolehkan) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain maka pasti aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.” (HR. Muslim)

Memang seorang isteri memiliki hak untuk melakukan puasa tarwiyah atau arafah yang setahun. Namun seorang suami pun memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan dari isterinya ketika dirinya ingin berhubungan (jima’) dengannya pada saat dia berpuasa. Para ulama bersepakat bahwa hak suami lebih didahulukan daripada hak isteri, berdasarkan firman Allah swt :

Artinya : “Akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.” (QS. Al Baqoroh : 228)

Sabda Rasulullah saw,”Seandainya aku (dibolehkan) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain maka pasti aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.” (HR. Muslim)

Dan pada umumnya keinginan untuk berjima’ berawal dari suami sehingga sudah sepantasnya seorang isteri yang ingin berpuasa sunnah meminta izin terlebih dahulu dari suaminya sebelum melakukannya karena terkadang pada saat itu suaminya memiliki keinginan untuk berjima’ dengannya.

Hal ini juga dipertegas oleh sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairoh,”Tidak halal bagi seorang isteri berpuasa sementara suaminya ada bersamanya kecuali dengan izinnya.” (HR. Bukhori Muslim) sementara didalam lafazh Ahmad disebutkan,”Tidaklah seorang isteri berpuasa satu hari saja sementara suaminya ada bersamanya kecuali dengan izinnya kecuali puasa Ramadhan.” (Hadits ini dinyatakan hasan oleh Albani didalam “Shahih at Targhib)

Wallahu A’lam

Sabar Dalam Membangun Fondasi La Ilaha ill-Allah

Ketika Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat berda’wah di Mekkah sebelum hijrah ke Madinah, mereka memfokuskan da’wah Islam kepada urusan membangun fondasi kokoh berupa aqidah yang bersumber dari kalimat La ilaha ill-Allah. Mereka tidak bergesar dari tema fundamental ini karena mereka menyadari bahwa untuk mengubah masyarakat jahiliyyah tidak mungkin dilakukan kecuali dengan membongkar dari fondasinya kepercayaan, ideologi dan konsepsi masyarakat tersebut. Segenap kerusakan moral, ketimpangan sosial-ekonomi, impotensi kepemimpinan dan kezaliman sistem politik serta hukum bersumber dari ketidak-jelasan ideologi, kepercayaan dan konsepsi yang dimiliki masyarakat jahiliyyah. Sehingga percuma saja dilakukan upaya perbaikan bila dilakukan dengan semangat dan metode tambal-sulam. Diperlukan suatu langkah perombakan mendasar sebelum dilakukan upaya perbaikan pada dimensi moral, sosial-ekonomi, kepemimpinan, politik dan hukum yang berlaku. Oleh karena itu Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dengan tekun dan sabar menyerukan da’wah yang menitikberatkan pada pelurusan kepercayaan, ideologi dan konsepsi. Sebagaimana para Nabi dan Rasul lainnya beliau menyerukan pesan universal dan abadi yaitu:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu". (QS An-Nahl ayat 36)

Tidak ada seorang Nabi maupun Rasul kecuali mengajak umatnya masing-masing untuk memerdekakan diri dari penghambaan manusia kepada sesama manusia (yaitu Thaghut) untuk hanya menghambakan diri kepada Allah semata. Sembahlah Allah semata dan jauhilah Thaghut...! Dan sepanjang sejarah bilamana wujud suatu masyarakat jahiliyyah niscaya suburlah kehadiran aneka thaghut di dalam masyarakat tersebut. Sebaliknya bilamana berdiri suatu masyarakat berlandaskan kepercayaan, ideologi dan konsepsi aqidah Tauhid La ilaha ill-Allah, maka bersihlah masyarakat itu dari eksistensi thaghut. Seluruh masyarakat menyembah dan mengesakan Allah secara komprehensif, baik dalam aspek peribadatan, mu’amalat, hukum dan perundang-undangan maupun kepemimpinan. Berjalanlah masyarakat tersebut sarat dengan perlombaan dalam kebaikan menjunjung tinggi nilai-nilai dan hukum Rabbani. Tidak ada yang dipatuhi dan diberikan loyalitas pada prioritas pertama dan utama selain Allah Subhaanahu wa Ta’aala.


Selama mayoritas warga di dalam masyarakat masih tenggelam dalam kejahiliyyahan maka Nabi shollallahu ’alaih wa sallam terus menganjurkan seruan kalimat La Ilaha ill-Allah. Sebab inti kejahiliyyahan terletak pada kepercayaan, ideologi dan konsepsi yang mengakui dan menerima penghambaan manusia kepada sesama manusia, mematuhi para pemimpin yang tidak menjadikan Allah semata sebagai sumber utama pengabdian, loyalitas dan kepatuhan, baik dalam urusan ritual-peribadatan, nilai-nilai moral maupun sistem hukum dan perundang-undangan. Artinya, tidak mungkin sesaatpun Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memandang urusan pembenahan kepercayaan, ideologi dan konsepsi masyarakat menjadi perkara usang alias out of date apalagi jadul (urusan jaman dulu) sebelum tampak perbaikan hal ini pada mayoritas masyarakat yang menjadi sasaran da’wah beliau.

Tetapi resiko menempuh jalan menyerukan kalimat La Ilaha ill-Allah di dalam suatu masyarakat jahiliyyah ialah menghadapi reaksi keras penentangan. Inilah yang dialami oleh Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat. Dan ini pulalah yang akan dialami oleh siapapun yang konsisten menyerukan hal serupa di negeri manapun di zaman kapanpun. Sehingga bila tidak cukup sabar menempuhnya pastilah akan tergoda untuk mencari jalan lain yang kiranya bisa mendatangkan resiko yang lebih ringan bahkan diyakini bisa mendatangkan percepatan meraih kemenangan da’wah. Sahabatpun sempat mengalami kondisi seperti itu. Di antaranya apa yang tergambar dalam hadits berikut:


عَنْ خَبَّابِ بْنِ الْأَرَتِّ قَالَ شَكَوْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً لَهُ فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ قُلْنَا لَهُ أَلَا تَسْتَنْصِرُ لَنَا أَلَا تَدْعُو اللَّهَ لَنَا قَالَ كَانَ الرَّجُلُ فِيمَنْ قَبْلَكُمْ يُحْفَرُ لَهُ فِي الْأَرْضِ فَيُجْعَلُ فِيهِ فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ فَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُشَقُّ بِاثْنَتَيْنِ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ مِنْ عَظْمٍ أَوْ عَصَبٍ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَاللَّهِ لَيُتِمَّنَّ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لَا يَخَافُ إِلَّا اللَّهَ أَوْ الذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ

Dari Khabab bin Al-Arat ia berkata: ”Kami mengeluh di hadapan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam saat beliau sedang bersandar di Ka’bah. Kami berkata kepadanya: ”Apakah engkau tidak memohonkan pertolongan bagi kami? Tidakkah engkau berdoa kepada Allah untuk kami?” Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam kemudian bersabda: ”Dahulu seorang lelaki ditanam badannya ke dalam bumi lalu gergaji diletakkan di atas kepalanya dan kepalanya dibelah menjadi dua namun hal itu tidak menghalanginya dari agamanya. Dan disisir dengan sisir besi sehingga terkelupaslah daging dan kulitnya sehingga tampaklah tulangnya namun hal itu tidak menghalanginya dari agamanya. Demi Allah, urusan ini akan disempurnakanNya sehingga seorang penunggang kuda akan berkelana dari San’aa ke Hadramaut tidak takut apapun selain Allah atau srigala menerkam dombanya, akan tetapi kalian tergesa-gesa!” (HR Bukhary 3343)

Khabab merupakan salah seorang sahabat yang mendapat penyiksaan luar biasa dari kaum musyrikin semenjak ia masuk Islam. Ia datang kepada Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengeluhkan nasib para sahabat yang mengalami hal serupa dengan dirinya. Ia hanya memohon Nabi shollallahu ’alaih wa sallam agar mendoakan para sahabat tersebut, agar Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memohon pertolongan Allah bagi mereka. Ia tidak sampai mengusulkan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam agar merubah strategi berjuangnya. Ia tidak sedang menyatakan protesnya terhadap jalan penuh resiko karena menyerukan kalimat La Ilaha ill-Allah. Ia hanya memohon Nabi shollallahu ’alaih wa sallam agar mendoakan para sahabat agar mendapat pertolongan Allah.

Namun demikian, keluhan Khabab telah dibalas dengan jawaban tegas Nabi shollallahu ’alaih wa sallam. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengingatkan Khabab akan tabiat jalan da’wah yang telah ditempuh orang-orang beriman sepanjang masa. Ini bukanlah jalan melewati taman-taman bunga. Ini bukan jalan bagi mereka yang menyengaja merekayasa jalan da’wah agar menghasilkan berbagai kemudahan dan kesenangan duniawi. Ini bukan jalan bagi mereka yang ingin segera memperoleh kemenangan da’wah dengan meninggalkan seruan asli da’wah Islam yaitu proklamasi umum pembebasan manusia dari penghambaan kepada sesama manusia menjadi penghambaan manusia kepada Allah semata. Ini bukan jalan bagi mereka yang demi kekuasaan rela mengaburkan seruan La Ilaha ill-Allah menjadi seruan lain, seperti Nasionalisme atau Sosialisme atau bahkan Moralisme.

Ya Allah, teguhkanlah pendirian kami di atas jalanMu. Karuniakanlah sabar sejati di dalam diri kami. Peliharalah istiqomah kami dalam proyek pembangunan Tauhid di dalam diri, keluarga dan masyarakat kami.

Doa Untuk Memperoleh Ridho Allah

Seorang Muslim senantiasa mengharapkan Ridho Allah dalam setiap sepak terjang aktifitasnya. Sebab ia tahu bahwa hanya dengan memperoleh Ridho Allah sajalah hidupnya menjadi lurus, terarah dan benar. Seorang Muslim yang mengejar Ridho Allah berarti menjadi seorang beriman yang ikhlas. Orang yang ikhlas dalam ber’amal merupakan orang yang tidak bakal sanggup diganggu apalagi dikalahkan oleh syetan. Allah menjamin hal ini berdasarkan firmanNya dimana dedengkot syetan saja, yakni Iblis, mengakui ketidak-berdayaannya menyesatkan hamba-hamba Allah yang mukhlis.

قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ

وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ


”Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma`siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka". (QS Al-Hijr ayat 39-40)

Orang-orang yang telah menjadikan Ridho Allah semata sebagai tujuan hidupnya tidak mungkin dapat disimpangkan dari jalan yang benar. Mereka tidak mempan di-iming-imingi dengan kenikmatan apapun di dunia ini. Sebab mereka sangat yakin bahwa kenikmatan jannah (surga) yang Allah janjikan bagi mereka tidak bisa disetarakan apalagi dikalahkan oleh kenikmatan duniawi bagaimanapun bentuknya. Harta, tahta maupun wanita tidak mungkin mereka dahulukan daripada kenikmatan ukhrawi surgawi yang Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam sendiri gambarkan sebagai berikut:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّه

أَعْدَدْتُ لِعِبَادِي الصَّالِحِينَ مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ

وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ

Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: Allah berfirman: “Aku telah sediakan untuk hamab-hambaKu yang sholeh apa-apa yang tidak pernah mata memandangnya, dan tidak pernah telinga mendengarnya dan tidak pernah terbersit di dalam hati manusia.” ( HR Bukhary)

Hamba-hamba Allah yang mukhlis kebal terhadap berbagai ancaman manusia berupa siksa dan penderitaan duniawi apapun, karena bagi mereka tidak ada yang lebih menakutkan daripada ancaman Allah berupa siksa dan penderitaan hakiki di dalam neraka akhirat kelak. Mereka memiliki sikap seperti sikap para tukang sihir Fir’aun yang semula loyal kepada penguasa zalim tersebut, namun setelah menyaksikan betapa unggulnya kekuatan Allah lewat performa NabiNya Musa, maka akhirnya mereka bertaubat. Mereka selanjutnya meninggalkan (baca: baro’ alias berlepas diri dari) Fir’aun dan tidak menghiraukan ancamannya bagaimanapun bentuknya:

قَالَ آَمَنْتُمْ لَهُ قَبْلَ أَنْ آَذَنَ لَكُمْ إِنَّهُ لَكَبِيرُكُمُ الَّذِي عَلَّمَكُمُ السِّحْرَ فَلَسَوْفَ تَعْلَمُونَ لَأُقَطِّعَنَّ أَيْدِيَكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ مِنْ خِلَافٍ وَلَأُصَلِّبَنَّكُمْ أَجْمَعِينَ قَالُوا لَا ضَيْرَ إِنَّا إِلَى رَبِّنَا مُنْقَلِبُونَ إِنَّا نَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لَنَا رَبُّنَا خَطَايَانَا أَنْ كُنَّا أَوَّلَ الْمُؤْمِنِينَ

”Fir`aun berkata: "Apakah kamu sekalian beriman kepada Musa sebelum aku memberi izin kepadamu? Sesungguhnya dia benar-benar pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu maka kamu nanti pasti benar-benar akan mengetahui (akibat perbuatanmu); sesungguhnya aku akan memotong tanganmu dan kakimu dengan bersilangan dan aku akan menyalibmu semuanya". Mereka berkata: "Tidak ada kemudharatan (bagi kami); sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami, sesungguhnya kami amat menginginkan bahwa Tuhan kami akan mengampuni kesalahan kami, karena kami adalah orang-orang yang pertama-tama beriman". (QS Asy-Syuara ayat 49-51)

Orang-orang yang sibuk menggapai Ridho Allah semata dalam hidupnya sangat meyakini bahwa hanya Allah sajalah yang patut di jadikan prioritas utama kecintaan, kepatuhan dan rasa takut. Mereka berusaha untuk selalu mendahulukan Allah dalam setiap gerak-gerik hidupnya. Mereka sangat benci menyekutukan atau menduakan apalagi men-tigakan Allah, Rabbul’aalamiin. Sebab mereka sangat yakin bahwa Allah sajalah Raja di langit dan Raja di bumi. Sehingga dalam menyerahkan kecintaan, kepatuhan atau rasa takut kepada selain Allah mereka tidak akan pernah mau menyetarakan apalagi mendahulukan selain Allah. Sikap mereka kepada para pemimpin dan pembesar dunia adalah sikap yang sangat proporsional. Mereka hanya mau mentaati pemimpin yang senantiasa mengajak kepada meraih Ridho Allah juga. Namun bila pemimpin yang ada malah mengalihkan mereka dari mengejar Ridho Allah, maka bagi orang-orang mukhlis Ridho Allah jauh lebih utama didahulukan.

Kaum mukhlisin hanya meyakini bahwa jalan hidup yang sepatutnya dilalui hanyalah jalan hidup yang mendatangkan keridhoan Allah. Sedangkan Allah telah menegaskan bahwa hanya Islam-lah jalan hidup atau dien yang diridhaiNya.

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

”Sesungguhnya dien atau agama atau jalan hidup (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS Ali Imran ayat 19)

Sedemikian yakinnya kaum mukhlisin akan kebenaran pernyataan Allah di atas, sehingga di dalam hati mereka tidak tersisa lagi cadangan kepercayaan akan jalan hidup lainnya. Sebab semua jalan hidup lainnya bukan dari Allah yang mereka senantiasa kejar keridhaanNya. Jalan hidup lainnya hanyalah jalan hidup palsu bikinan manusia yang seringkali dihiasi dengan nafsu dan sikap zalim serta keterbatasan ilmu alias jahil atau bodoh. Orang-orang mukhlis tidak lagi menyisakan di dalam diri mereka kepercayaan akan Liberalisme, Pluralisme, Sekularisme, Kapitalisme, Sosialisme, Komunsime, Humanisme, Hedonisme apalagi Demokrasi. Semua jalan hidup itu bagi mereka tidak menjamin akan mendatangkan keridhoan Alllah. Padahal mereka sudah sangat yakin bahwa hidup tanpa keridhoan Allah adalah kehidupan yang merugi dan penuh ke-sia-siaan.

Kaum mukhlisin hanya meyakini bahwa Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam merupakan satu-satunya teladan dan prototype sempurna yang wajib diteladani segenap sepakterjang perjuangannya. Bilamana menempuh jalan uswah tersebut berakibat kepada munculnya kehidupan yang penuh kesulitan dan jalan mendaki, maka mereka dengan rela hati akan menempuhnya. Bila karena meneladani Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam, mereka harus mengalami pengucilan dan stigma negatif dari kebanyakan manusia, maka mereka dengan sabar terus menempuhnya. Tidak sedikitpun rayuan dan iming-iming maupun ancaman dan black campaign fihak musuh dapat menyimpangkan mereka dari jalan hidup teladan utama ini. Karena kaum mukhlisin sangat yakin bahwa menegakkan sunnah Nabi shollallahu ’alaih wa sallam merupakan satu-satunya jalan untuk meraih keridhoan Allah.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS Al-Ahzab ayat 21)

Sedangkan meninggalkan sunnah Nabi shollallahu ’alaih wa sallam hanya akan mengantarkan mereka kepada kesenangan sementara dunia namun mengakibatkan penderitaan abadi dan hakiki di dalam kehidupan akhirat kelak nanti. Apalah artinya ”seolah berjaya” sebentar di dunia untuk kemudian merugi dan menyesal selamanya di akhirat. Lebih baik bersabar sebentar di dunia untuk menikmati kesenangan dan kebahagiaan sejati lagi abadi di kampung halaman jannatun-na’iim.

Maka para pemburu Ridho Allah setiap hari senantiasa memperbaharui komitmen mereka dengan mengikrarkan di dalam dirinya kalimat “Aku ridha Allah sebagai Rabb dan Al-Islam sebagai dien (jalan hidup) dan Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam sebagai Nabi”. Pengulangan ikrar harian ini menjadi sangat penting sebab ia merupakan salah satu jalan untuk memastikan bahwa Ridho Allah menyertai mereka ketika sudah berjumpa Allah di hari Kiamat atau hari Berbangkit. Demikianlah anjuran Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam kepada ummatnya sebagaimana diterangkan di bawah ini:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَقُولُ حِينَ يُصْبِحُ وَحِينَ يُمْسِي ثَلَاثَ مَرَّاتٍ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُرْضِيَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Bersabda Rasulullah saw: “Tidak ada seorang Muslim yang membaca di pagi hari dan di sore hari sebanyak tiga kali “Aku ridha Allah sebagai Rabb dan Al-Islam sebagai dien (jalan hidup) dan Muhammad sebagai Nabi”, kecuali Allah pasti meridhainya pada hari Kiamat.” (HR Ahmad)

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ أَوْ إِنْسَانٍ أَوْ عَبْدٍ يَقُولُ

حِينَ يُمْسِي وَحِينَ يُصْبِحُ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا

إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُرْضِيَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Bersabda Rasulullah saw: “Tidak ada seorang Muslim atau seorang manusia atau hamba yang membaca di sore hari dan di pagi hari: “Aku ridha Allah sebagai Rabb dan Al-Islam sebagai dien (jalan hidup) dan Muhammad sebagai Nabi”, kecuali Allah pasti meridhainya pada hari Kiamat.” (HR Ibnu Majah)disadur dari eramuslim.

salam

Sabtu, 17 Oktober 2009

Sebuah Pelajaran Dari Sholat

Sudah lama kami tidak berkunjung kerumah Pak Soleh, guru agama sewaktu masih sekolah dulu. Sekarang Pak Sholeh sudah pindah ke Ciawi, Bogor dan mengajar di sekolah madrasah disana sambil membuka pengajian pada sore harinya. Lebaran adalah susana yang sangat tepat untuk memperkokoh kembali tali silaturahmi, kebetulan hari itu saya beserta Sugianto, Ali, Kamin dan Jaja baru pulang dari rumah teman di Cipayung, Bogor, maka seperti kata pepatah ' sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui ' kami pun mampir ke rumah Pak Soleh. " Assalamu'alaykum, ada Pak Sholeh " sapa kami kepada seorang pemuda di depan rumah Pak Soleh, mungkin tetangga atau saudaranya. " Wa'alaykum salam, Pak Soleh masih ada di musholah belakang belum pulang dari menunaikan sholat Dzuhur" jawab pemuda tadi. " Ya udah sekalian saja kita ke musholah, kita kan belum sholat Dzuhur " Kata Jaja yang di iyakan oleh yang lain. Setelah di tunjuki arah ke musholah kamipun permisi kepada pemuda tadi.

Sewaktu kami tiba, Pak Soleh masih sholat, dan kamipun berwudhu lalu sholat berjama'ah sendiri, tidak bermakmum pada Pak Soleh karena takut mengganggu kekhusyu'annya disamping itu kami juga mengira dia saat itu sedang sholat sunnah ba'da Dzuhur karena tidak ada orang lain disana. Ternyata setelah kami selesai sholat, Pak sholeh masih belum selesai juga. Antara berdiri, rukuk, sujud dan duduk iftirasy sama lamanya. Setelah selesai kami menghampirinya dan Pak sholeh sempat kaget sewaktu bertemu kami , murid lamanya. " Tadi kami datang Pak Soleh masih sholat ..eh pas kami selesai sholat Pak Soleh masih belum selesai juga " kata Sugianto menerangkan waktu kedatangan kami. " Tadi waktu berjama'ah ada banyak kepentingan jama'ah yang harus kita kedepankan, padahal perasaan ingin berdua itu belum hilang ,nah sholat sunnah adalah waktunya " kata Pak Soleh menerangkan, " Loh bukannya sholat sudah ada bacaannya " tanya Jaja penasaran " benar tapi sholat bukan sekedar membaca tapi juga merasakan, jika ingin khusyu' jangan membaca sebelum merasakan ketenangan dan merasa seperti berhadapan dengan sesuatu, sebenarnya tidak ada bacaan disana yang ada hanyalah pujian dan doa dan salah satu adab dari memuji dan berdoa adalah tidak tergesa-gesa " kata Pak Soleh dengan tenang sambil tersenyum memegang pundak si Jaja.


"Maling..maling. ." teriak penduduk diluar musholah yang sedang mengejar seorang pencuri, kami keluar untuk melihat dan ternyata pencuri itu telah tertangkap. Dia ketahuan hendak mencuri sepeda motor yang di parkir di depan rumah seorang warga. " Ampun pak...ampun. .tolong jangan pukul saya..." keluh si pencuri yang di hajar masa, utung ada hansip yang mengamankannya untuk di bawa ke pos polisi terdekat. Pak Soleh memandang kearah kami " Pernahkan kalian melihat ada yang minta ampun seperti itu kepada Allah ?" tanya Pak Soleh. " Mungkin nanti kalau sudah masuk neraka baru minta ampun kayak gitu Pak...sekarang sih gak ada ..lagi pula nanti kelihatan aneh lagi Pak" jawab Kamin. Pak Soleh hanya tersenyum mendengarnya " Tuhan memang belum menjadi sesuatu yang nyata bagi sebagian orang, laksana patung yang disembah dan diam dalam kesendirianNya, itulah sebabnya dalam agama Islam , Allah tidak bisa dipersepsikan dengan segala sesuatu laitsa kamitslihi sai'uun, DIA maha melihat apa kita perbuat, masalahnya apa yang kita sebut sebagai keimanan itu adalah keyakinan atau sekedar pernyataan" kata Pak Soleh menerangkan sama seperti waktu dikelas.

Dari musholah kami menuju rumahnya, " Bu nih ada tamu, murid bapak dulu " kata Pak Soleh kepada istrinya " tolong siapin makan siang bu biar sekalian makan sama anak-anak ini " pinta Pak Soleh, " Pak tadi , waktu kepasar dompet ibu jatuh jadi gak sempat belanja deh, ada sayur tahu doang beli dari Kang Karyan yang biasa lewat, tapi masih ngutang" desah istrinya pelan, tapi kami masih bisa kami dengar " Ya sudah gak apa-apa hidangkan apa yang ada sajalah, yang penting bisa menjamu tamu kita bu" sahut Pak Soleh menenangkan istrinya. Baru saja makanan di hidangkan pintu diketuk " Bu ...ini masakan yang saya bilang tadi tolong dicicipin ya...kalau gak enak diem-diem aje namanya juga lagi belajar " kata Ibu muda yang datang membawa semangkok opor Ayam " Terimakasih Bu Rina..jadi repot-repot, kan tadi cuma bercanda " sahut istrinya Pak Soleh yang kemudian masuk menghidangkan opor tadi kehadapan kami " Nih ada tambahan rezeki, silahkan di coba " katanya sambil masuk kedalam. Pak Soleh hanya diam, dia tidak berusaha menasehati kami padahal apa yang kami saksikan adalah salah satu cara kerja Allah terhadap hambaNya, mungkin Pak Soleh ingin kami menelaah sendiri kejadian tersebut atau dia tidak ingin ujub dalam kedekatannya dengan Sang maha pencipta.

Kami pulang dari rumah Pak Soleh sehabis sholat Ashar dan menuju perapatan Ciawi menuju kampung rambutan. Kami menunggu bis di dekat sebuah klinik 24 jam karena disana tidak ada pemberhentian bis. Kami menunggu bis dari arah Sukabumi yang menuju Kampung rambutan atau Pulo Gadung. " Bu ani nemu dompet dipasar " teriak seorang anak perempuan kepada seorang ibu yang sedang menggendong anak kecil " Alhamdulillah ternyata ada juga rezeki untuk berobat, tapi yang punya siapa nanti dia nyariin lagi" kata sang ibu kepada anaknya " Gak ada apa-apa bu ini mah dompet belanja doang, " kata anak tersebut sambil memberikan dompet itu kepada ibunya. " mmm iya sih cuma ini ada fotonyanya di plastik luar mungkin ibu ini yang punya dia kali yah, ya udahlah tak pinjam dulu deh nanti biar Allah yang ganti" kata ibu tersebut sambil memasukan dompet tersebut kekantongnya, saya sempat melihat wajah di cover luar dompet itu samar seperti wajah istrinya Pak Soleh, tapi kami hanya diam saja , sesuatu berkecamuk didada, antara mendiamkan atau melibatkan diri dalam masalah tersebut dan kami memilih mendiamkan.

Sampai menjelang maghrib kami belum juga mendapat bis, kalaupun ada selalu saja penuh, mungkin Allah tengah mendiamkan kami karena hanya diam saja ketika mengetahui ada sesuatu yang bisa diluruskan fikir kami. Sehabis sholat maghrib kami mencari alternatif lain yaitu menuju terminal Baranangsiang untuk langsung ke Pulo gadung, akhirnya kami baru dapat bis setelah Sholat isa lewat terminal Baranangsiang Bogor. dan sampai dirumah jam 9 malam, saat itu kami telah berburuk sangka kepada Allah karena mengira Allah telah menghukum kami ternyata ayah saya sampai jam 10 malam masih terjebak di tol jakarta-Bogor sepulang dari Bandung sejak jam 2 siang. Dia mengatakan telah terjadi kemacetan total karena ada tabrakan antara truck dan minibus.

Keeseokan harinya saya menelpon Pak Soleh dan menceritakn kejadian kemarin sepulang kami dari rumahnya. " Sudah lupakan saja masalah dompet itu kami sudah mengikhlaskannya dan ternyata ada yang lebih membutuhkannya, untuk kalian semua satu yang bapak pesan yaitu jangan pernah meletakkan Allah dikepala kalian melalui apa-apa yang kalian fikirkan tapi letakkanlah dihati kalian Karena Allah dekat dengan nurani orang-orang yang beriman, karena orang yang benar memandang Allah didalam sholatnya insyaAllah akan benar pula memandang Allah di luar sholatnya " katanya diujung telepon dan saya hanya mengiyakan dari jauh.

Saat ini ketika saya berhadapan denganNya, saya tidak lagi pernah memfokuskan fikiran, karena semakin fikiran di fokuskan semakin berontaklah dia, bahkan selama sholat kita tidak lagi fokus kepada Allah tetapi lebih sering fokus pada bagaimana caranya khusyuk, sama seperti orang yang terburu-buru sholat hanya untuk mendengarkan ceramah yang berisi bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah, padahal dia baru saja mengabaikan Allah lewat sholatnya. Sholat bukanlah membaca tapi memuji dan berdoa, sholat adalah merasa, sholat adalah kepasrahan bukan ketergesa-gesaan inilah ibadah yang pertamakali dihisab di yaumil akhir.

disadur dari David
Salam

Suka Malu Sendiri Atas Doa Yang Kita Panjatkan

"Mengapa doa-doa saya belum terkabulkan setelah sekian lama?" tanya seorang jemaah kepada gurunya. Sang guru berdehem. Ia bukannya gak mau jawab, tapi pertanyaan ini sudah berulang kali ia terima dari jemaah pengajian seputar masalah yang tidak jauh berbeda, yakni tentang kapan Allah mengijabah doa.
Rasanya sudah banyak jawaban yang pernah diutarakan oleh sang ustadz, namun kali ini ia harus mencari cara lain untuk bisa membuat jemaah ini mengerti, paham dan selalu husnuzhon kepada Allah Swt.

"Memang sering kita berdoa kepada Allah, namun sepertinya Allah Swt belum juga memenuhi hajat kita" jelas sang ustadz membuka jawaban.

"Namun ketahuilah bahwa banyak orang meminta harta yang banyak kepada Allah Swt dalam doanya. Ada juga yang minta agar naik jabatan. Ada pula yang berdoa agar diberikan jodoh yang cantik, sholihah, dan lain sebagainya. Belum lagi permintaan ini dan itu sepuas hati mereka! Tidak sedikit manusia yang berdoa kepada Allah Swt dengan nafsu syahwat mereka... Segala hal terbaik ingin mereka minta, sebab ia percaya bahwa Allah Sang Pemberi Anugerah akan sangat mudah mengabulkan permintaan mereka.... Namun sayang mereka maunya menang sendiri. Selalu minta, namun jarang memberi! Minta yang manis, tidak mau yang pahit! Padahal mereka belum mengerti bahwa kalau saja Allah Swt memberi apa yang mereka inginkan, belum tentu hal itu membawa kebaikan untuk mereka...." jelas pak ustadz.

dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. 2:216)


Itulah sifat manusia yang mengira bahwa mereka suka berdoa untuk diberikan anugerah apa yang mereka kira baik, padahal Allah Swt mengijabah doa mereka dengan tidak mengabulkan permintaannya!

Coba anda bayangkan, apabila setiap makhluk Allah Swt ciptakan semuanya kaya raya seperti yang mereka inginkan, apa jadinya dunia ini?!

Betapa banyak manusia yang ingin mendapatkan jabatan. Ia mengira bahwa bila ia menjabat ia akan banyak melakukan kebaikan, namun begitu diberikan rupanya ia tidak siap menerimanya sehingga jabatan bukan lagi sebagai anugerah, namun menjadi musibah.

Maka makna yang terpenting yang harus menjadi pelajaran bagi kita adalah bagaimana kita bisa senantiasa menyetel hati & pikiran kita untuk senantiasa ridha atas keputusan Allah Swt.

Mau Allah Swt buat hidup kita lapang atau sempit, kita selalu berucap hamdalah. Mau Dia Swt bikin hidup kita senang or susah, gak ada masalah. Atau Allah Swt angkat derajat kita kemudian ia jatuhkanpun juga gak apa-apa. Yang penting asal Allah Swt ridho kepada kita, maka kita pun juga akan selalu ridha kepada-Nya.

Inilah sebuah kisah yang termaktub dalam shahih Bukhari tentang permohonan para sahabat kepada Rasulullah Saw. Wallahualam Bishawab

Minggu, 11 Oktober 2009

Perbedaan Mu’min dengan Kafir

Saudaraku, sungguh berbeda sikap, perasaan dan perilaku seorang mu’min dibandingkan seorang kafir. Bila seorang beriman melakukan suatu kegiatan maka di dalam hatinya hadir harapan untuk meraih hasil kegiatannya di dunia sekaligus di akhirat. Dan Nabi menjamin bahwa kedua kebaikan ini pasti didapat oleh seorang mu’min sebagai balasan atas kegiatannya itu. Adapun seorang kafir boleh jadi mendapat balasan perbuatannya di dunia, namun di akhirat ia tidak akan memperoleh balasan apapun selain siksaan dan penderitaan berkepanjangan. Semua itu dialaminya sebagai akibat dari kekafirannya kepada Allah dan agama Allah. Perhatikanlah sabda-sabda Nabi di bawah ini:

إِنَّ الْكَافِرَ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً أُطْعِمَ بِهَا طُعْمَةً مِنْ الدُّنْيَا وَأَمَّا الْمُؤْمِنُ

فَإِنَّ اللَّهَ يَدَّخِرُ لَهُ حَسَنَاتِهِ فِي الْآخِرَةِ وَيُعْقِبُهُ رِزْقًا فِي الدُّنْيَا عَلَى طَاعَتِهِ


”Seorang kafir jika berbuat kebaikan di dunia, maka segera diberi balasannya di dunia. Adapun orang mu'min jika berbuat kebajikan, maka tersimpan pahalanya di akhirat di samping rizqi yang diterimanya di dunia atas keta'atannya.” (Muslim 5023)

إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مُؤْمِنًا حَسَنَةً يُعْطَى بِهَا فِي الدُّنْيَا وَيُجْزَى بِهَا

فِي الْآخِرَةِ وَأَمَّا الْكَافِرُ فَيُطْعَمُ بِحَسَنَاتِ مَا عَمِلَ بِهَا لِلَّهِ فِي الدُّنْيَا

حَتَّى إِذَا أَفْضَى إِلَى الْآخِرَةِ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَةٌ يُجْزَى بِهَا


”Sesungguhnya Allah tidak menganiaya (mengurangi) seorang mu'min hasanatnya, diberinya di dunia dan dibalas di akhirat. Adapun orang kafir, maka diberi itu sebagai ganti dari kebaikan yang dilakukannya di dunia, sehingga jika kembali kepada Allah, tidak ada baginya suatu hasanat untuk mendapatkan balasannya.” (Muslim 5022)


Sedangkan ayat berikut ini dengan jelas menggambarkan bahwa orang kafir tidak akan memperoleh balasan kebaikan apapun di akhirat kecuali siksa neraka. Kendati demikian, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang tetap berlaku adil dengan menjanjikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan.


مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ

فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ

فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ


"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan" (QS Hud15-16)

Tetapi apalah artinya balasan di dunia jika harus menderita di akhirat selamanya. Persis seperti kelakuan pasukan Israel yang mengira bahwa mereka memperoleh kemenangan dengan membantai rakyat Palestina menggunakan mesin perang modern buatan AS. Mereka berbuat sekehendaknya dan merasa penuh kuasa tanpa rasa bersalah sedikitpun menghabisi anak-anak dan kaum wanita Palestina. Mereka berbuat demikian karena hanya memahami kehidupan sebatas dunia fana ini. Mereka samasekali tidak peduli dan tidak percaya akan adanya kehidupan akhirat. Andai mereka benar-benar percaya akan keberadaan kehidupan akhirat, niscaya mereka tidak akan bertindak sebrutal yang mereka pertunjukkan. Kalaupun mereka dianggap menang sesungguhnya kemenangannya sebatas di dunia belaka. Sedangkan di akhirat nanti mereka ditunggu oleh siksa api neraka.


مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ

نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا


"Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir." (QS Al-Israa ayat 18)

Wallahu 'alam bishawab

Susahnya Menjaga Pandangan

Tidak berlebihan jika ada pepatah yang mengatakan dari mata turun ke hati seperti halnya perkataan seorang salaf,”Pandangan adalah panah beracun yang menembus ke hati.” Dari sebuah pandangan bisa mendorong hati berfikir maksiat yang tidak jarang diakhiri oleh perbuatan zina.

Karena itulah Allah swt menggandengkan antara perintah menjaga pandangan dengan menjaga kemaluan, sebagaimana didalam firman-Nya :

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ


Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". (QS. An Nuur : 30)

Perintah menjaga pandangan dan kemaluan didalam ayat tersebut ditujukan kepada semua muslim baik dia tinggal di lingkungan islami yang menerapkan aturan-aturan islam atau di lingkungan yang tidak islami yang meninggalkan penerapan aturan-aturan islam didalam tata pergaulan antara lawan jenis.

Dan jika anda berada didalam suatu lingkungan yang tidak islami maka hendaklah anda berusaha untuk meminimalkan pandangan anda kepada perempuan-perempuan yang bukan mahram anda trlebih lagi terhadap mereka yang tidak menutupi auratnya.

Namun apabila memang anda tidak bisa menghindar dari memandang mereka maka hendaklah pandangan itu tidak dibarengi dengan pandangan berikutnya yang sudah bercampur dengan syahwat. Adapun pandangan anda yang pertama maka—insya Allah—masih mendapat pemakluman karena ia termasuk jenis “pandangan spontanitas”


Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jarir bin Abdullah berkata,”Aku bertanya kepada Rasulullah saw tentang pandangan spontanitas” Maka beliau saw memerintahkanku untuk mengalihkan pandaganku.”

Hadits ini memperkuat pendapat ulama yang mengatakan bahwa makna dari huruf “min” didalam surat An Nuur ayat 30 adalah “sebagian” karena memang ada sebagian pandangan yang dibolehkan atau tidak bisa dihindari seperti pandangan pertama (spontanitas) atau pandangan tanpa maksud seperti didalam hadits Jarir diatas.

Senada dengan hadits Jarir juga apa yang diriwayatkan oleh Tirmidzi bahwa Rasulullah saw bersabda,”Wahai Ali janganlah engkau ikuti pandangan (pertama) dengan pandangan (berikutnya). Sesungguhnya pandangan yang pertama adalah untukmu namun tidak pada pandangan yang lainnya.”

Untuk itu hendaklah anda pandai menempatkan diri disetiap tempat ikhtilath (percampuran antara laki-laki dan perempuan) yang pada saat itu anda berada didalamnya. Tempatkanlah diri anda pada sudut atau sisi yang tidak mengarahkan pandangan anda kepada perempuan asing. Anda bisa tempatkan diri anda pada sisi yang mengarahkan pandangan anda kepada tembok, pohon-pohon, papan tulis, atau benda-benda lainnya agar pandangan anda tetap terjaga dan terpelihara.

Menjaga pandangan ditengah-tengah masyarakat yang tidak menerapkan aturan Allah didalam tata pergaulan mereka memang menjadi tantangan tersendiri yang membutuhkan perjuangan dan kesungguhan bagi seorang mukmin multazhim (yang berkomitmen dengan islam).

Allah tidak memerintahkan manusia untuk memejamkan matanya didalam setiap aktivitasnya karena hal itu pasti akan menyulitkan dirinya. Diantara rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya yang berada pada keadan yang sulit namun dirinya tetap istiqomah melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan-Nya adalah bagaikan orang itu melakukan hijrah kepada Allah swt, sebagaimana apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah saw bersabda,”Beribadah pada zaman yang sulit (terjadi fitnah) bagaikan berhijrah kepada-Ku.”

Sebab dari kelebihan atau keutamaan beribadah pada masa seperti itu adalah dikarenakan manusia pada saat itu telah lalai akan kewajiban agamanya, mengabaikan syariat-Nya, disibukkan oleh urusan-urusan rutin duianya kecuali hanya segelintir orang saja yang masih komitmen dengan agamanya dan istiqomah diatas jalannya.

Mewujudkan masyarakat yang sadar syariah dan memegang nilai-nilai akhlak mulia adalah menjadi kewajiban semua orang yang ada didalamnya termasuk meminimalisir kemaksiatan didalam pergaulan ikhtilath. (baca : Ikhtilath dan Hijab Syar’i). Namun dari mereka semua tentunya tanggung jawab yang lebih besar adalah ada pada para penguasa sebagai pembuat kebijakan dan peraturan tata pergaulan masyarakatnya.

Wallahu A’lam

Selasa, 06 Oktober 2009

Cerita Di atas Cerita

Pada masa sekarang, dimana kebutuhan sehari-hari semakin meningkat meninggalkan penghasilan yang di peroleh, maka sering kita melihat pasangan suami istri bekerja bersamaan saling bantu membantu mencari nafkah untuk keluarga. Ada yang bekerja bersama-sama berdagang dan ada juga yang bekerja secara terpisah pada suatu instansi atau perusahaan. Pak Haris adalah salah satu dari beberapa orang di kota besar ini yang mengijinan istrinya bekerja membantu memperbaiki keuangan keluarga, walau dengan konsekwensi anak mesti dititipkan kepada pembantu rumah tangga. Pak Haris bekerja sebagai staf administrasi pada sebuah sekolah dasar sedangkan istrinya bekerja sebagai staf keuangan pada perusahaan swasta yang berskala nasional. Sebagai kepala rumah tangga, gaji yang didapat sebulan selalu dibawah penghasilan sang istri, namun Pak Haris selalu sabar dan tidak pernah marasa iri dan susah hati, sebaliknya istrinyalah yang selalu mengeluh dan terus mendorongnya mencari pekerjaan yang lebih baik.

Allah selalu maha adil dalam menempatkan segala sesuatu, walaupun tidak banyak menghasilkan tetapi didalam kehidupan keluarga Pak Haris adalah ayah yang baik dalam mendidik anak-anaknya dan selalu memberikan tauladan yang baik sebagai seorang ayah maupun sebagai seorang suami, Pak Haris memang selalu berusaha meluangkan waktu untuk keluarganya. Kondisi perekonomian membuat Pak Haris saat itu tinggal bersama keluarganya pada sebuah rumah kontrakan di pinggiran Jakarta. Istrinya selalu berusaha menyisihkan sebagain dari gajinya untuk membeli sebuah rumah, karena gaji Pak Haris habis untu kebutuhan sehari-hari.

Suatu ketika Istri Pak Haris berniat membeli sebuah rumah dengan cara mengajukan KPR pada suatu Bank. Uang muka yang akan di setorkan telah disiapkan untuk di bawa Pak Haris ke pengembang perumahan tersebut karena volume pekerjaan istrinya tidak memungkinkan untuk keluar kantor. Setelah minta ijin dari kepala Sekolah , Pak Haris langsung pergi menuju perumahan yang dimaksud dengan membawa uang muka pembayaran. Allah selalu mengawasi setiap langkah hambanya dan mengukir cerita yang menjadi jalan hidup si hamba, yang dengan cerita itu tergambarlah karakter yang diinginkanNya, yaitu ikhlas terhadap segala keputusanNya. Di tengah jalan uang yang dibawa Pak haris hilang, entah di curi orang atau terjatuh dan hal ini baru disadari sewaktu tiba di lokasi perumahan. Berkali-kali pak Haris menelusuri jalan yang dilalui tapi hasilnya tidak ada.

Setiba di rumah, istri pak Haris sangat marah dengan kelalaian yang dilakukannya. Berulang-ulang istrinya menyebutkan bahwa uang itu adalah hasil yang dikumpulkannya bertahun- tahun dan hilang begitu saja dalam satu hari, istrinya lupa kapada Sang pembuat cerita. Pak Haris merasa sangat bersalah. Ketidak mampuannya memberikan penghasilan yang lebih harus di lengkapi dengan hilangnya tabungan yang dikumpulkan dengan bersusah payah oleh sang istri. Sejak hari itu pak Haris jarang ada di rumah, dia bekerja apa saja setelah pulang dari sekolah hanya untuk bisa mengganti uang istri yang hilang. Setiap hari Pak Haris selalu pulang larut malam , bahkan hari libur juga di gunakan untuk bekerja. Hari demi hari berlalu kesunyian mulai terasa di rumah yang biasa selalu ceria oleh tawa anak-anak dengan canda Pak Haris. Istrinya mulai menyesal dengan tindakannya, tetapi kekecewaan Pak Haris pada dirinya disamping sindiran sang istri membuat pak Haris terus bekerja tanpa henti bahkan dalam keadaan sakit sekalipun, hingga kecelakaan menghampirinya. Kedua kakinya harus di amputasi karena terjepit truck container sewaktu akan mengantarkan barang pada sebuah area pergudangan.

Keluarga itu tidak hanya kehilangan uang untuk beli rumah tetapi juga telah kehilangan seoarang ayah dan seorang suami hanya untuk sebuah ego, ketidak ikhlasan bahwa apapun yang terjadi pada diri kita telah tercatat pada lembar abadi milik Sang Pencipta, rasa syukur memang harus di barengi dengan rasa sabar, sebuah sikap para shalihin yang mulai jarang ditemui.
------------ --------- --------- --------- --------- --------- --------- --------- --------- --------- --------- ------

Cerita diatas ditulis Pak Haris untuk menyadarkan istrinya melalui mailing list. Terkadang untuk menyadarkan seseorang di perlukan media yang sering kita temui tanpa kita sadari salah satunya adalah email. Cerita dibuat sedikit mendramatisir yaitu diahiri dengan kecelakaan yang membuat seseorang agak terkesima tidak terkecuali istrinya yang membacanya yang di peroleh dari forwadan email teman yang sengaja di minta oleh pak Haris tanpa disadari istrinya. Beberapa hari setelah email terkirim , terdengar istri menelpon dari kantornya " Ayah, ada dimana ?" tanya istrinya
" masih kerja, mudah-mudahan uang ibu yang hilang bisa cepat ayah pulangin" kata pak haris
" Ibu sudah kehilangan uang dan sekarang ibu juga tidak mau kehilangan ayah, jika ayah tidak bisa mengembalikan uangnya cukup kembalikan ayah dari anakku, tolong kembalikan juga kecerian di rumah kami yang telah lama hilang" kata sang istri mulai dengan nada hampir menangis. tanpa menunggu lebih lama Pak Haris berusaha bergegas pulang, kerinduan akan anak-anaknya mulai membuncah didada. Sepeda motor di pacu sekecang mungkin. Goresan yang dibuatnya melalui email menjadi kenyataan. Allah menulis hal yang sama pada lembar abadiNya dan Pak Haris kecelakaan dari motor. Kecelakaan itu tidak hanya merampas kakinya tapi juga jiwanya.

Beberapa hari setelah kematian Pak Haris teman tempatnya bekerja menceritakan semuanya dan email itulah ungkapan hati Pak Haris yang terakhir, bahwa dibalik ego yang menghalangi ada sebuah kerinduan yang teramat dalam bagi keluarganya. Apakah kita akan mengalami hal yang sama pada cerita yang berbeda ?

salam

Kisah Dari Sebuah Perjalanan

Satu tahun yang lalu ketika memasuki bulan Rajab , tidak banyak yang menunaikan sholat duha di masjid itu, kecuali seorang pemuda yang selalu membawa tas ransel. Dia bekerja tidak jauh dari area masjid yang terletak di bilangan Jakarta Utara. Sholat sunnah dhuha memang tidak se familiar sholat sunnah rawatib yang selalu mengapit sholat fardu. Banyak orang menganggap sholat dhuha adalah sholat kepentingan sama halnya dengan sholat hajat, hanya saja dhuha lebih di fokuskan dengan masalah rezeki. Walaupun tidak semua seperti itu tapi kita tidak juga bisa menutup mata dengan bertebarannya dalil kecukupan rezeki bagi orang yang menunaikanya, sehingga jika ada yang menunaikannya karena meminta dimudahkan rezeki oleh Allah adalah wajar saja.

Memasuki bulan Syakban, kondisi masjid mulai bertambah seiring dengan sunnah puasa di bulan ini maka bertambah juga orang yang menunaikan sholat dhuha. Puncaknya adalah bulan Ramadhan, apalagi pada sepuluh hari terakhir, maka susah untuk membedakan mana yang datang dari luar untuk menunaikan sholat dhuha dan mana yang telah berdiam diri disana dari hari sebelumnya. Mengginjak bulan Syawal kembali masjid tersebut sepi. Kami seperti reuni dalam kesunyian, mengapai ridho Allah dalam hal rezeki, mengais harapan dari setiap doa dan bersimpuh untuk meraih setiap kesempatan yang diberikanNya.

Namanya Ahmad, bekerja sebagai office boy pada sebuah perusahaan multi nasional. Dia ingin meningkatkan karirnya dengan cara melanjutkan pendidikan keperguran tinggi. Setelah tamat sekolah menengah tingkat atas di telah bekerja di berbagai tempat dan mulai menabung untuk biaya memasuki perguruan tinggi pada sore hari selepas bekerja. Dia selalu merasa ada saja masalah yang menghinggapinya sehingga setiap hari lari kemasjid mengadu kepada Allah, dia tidak mempunyai teman yang bisa di percaya untuk berbagi cerita, sedangkan orang tuanya ada di kampung. Saya sempat bercanda dengannya dengan mengatakan bahwa Allah mungkin senang berdua dengannya sehingga selalu di titipkan sebuah masalah agar dia selalu kembali kepadaNya. " Benar sih mas tapi saya ingin berdua dengan Allah bukan karena sebuah masalah, tapi karena memang saya ingin berdua denganNya dengan hati damai" katanya mencoba berharap lain.

Hari demi hari berlalu dan seperti biasa setiap pagi kami selalu bertemu dan menunaikan sholat dhuha secara terpisah mencari sudut yang paling ideal berdialog denganNya. Memasuki bulan Rajab yang lalu, saya kehilangan dia dan berlanjut pada bulan Syakban dan Ramadhan. Memasuki bulan Syawal, sewaktu perusahaan baru mulai beraktifitas kembali setelah libur lebaran. Saya bertemu dengannya di masjid yang sama dengan penampilan yang berbeda. " Saya sudah tidak bekerja di sini lagi mas , udah pindah ke Jakarta barat, saya coba mampir kesini mau silaturahim sama mas dan teman-teman di kantor lama" katanya menerangkan. Allah telah menjawab teriakan doa yang di panjatkannya gumam saya didalam hati. " kayaknya banyak kemajuan nih, " canda saya kepadanya. " saya jadi bingung mas, sebenarnya cobaan saya itu kekurangan saya dulu atau kelebihan saya sekarang, saat ini saya jarang sholat dhuha karena kantor di daerah saya kerja sekarang jauh dari masjid, sedangkan kalau sholat dikantor selalu saja ada halangannya karena tempat sholatnya dekat dengan pantry. Saya sekarang udah kuliah sore mas, tapi saya jadi sering ketinggalan sholat maghrib paling telat diakhir waktu. Setiap pagi kerinduan berdialog dengan Allah tergantikan dengan bercanda dengan teman di kantin karena suasana kantinnya asyik sekali karena yang makan disana cantik-cantik dan baik-baik " katanya seperti tidak mau untuk bercerita, tetapi waktu memaksa kami untuk berpisah.

Mulai hari itu masjid itu kembali sepi, saya mencari sudut dari masjid tempat dulu ahmad melaksanakan sholat dan merasakan kehadiran Allah dalam nuansa ketakutan, Saya selalu gelisah dengan pencapaian-pencapai an yang tidak pernah berakhir dengan memuaskan tetapi saya lebih takut ditinggalkan Allah dalam keadaan tertawa. Saya tidak lagi berani berdoa ini dan itu......hanya diam dan terpaku, tiba-tiba hati ini diliputi suasana bahagia...lau hening , entah dari mana asalnya lalu seperti di tuntun berdo'a " Ya Allah berikanlah kapadaku keikhlasan menerima segala kehendakMu atas jalan hidupku dan jadikanlah sabar di hati sebagai rasa syukur atas segala cobaanMu dan hiasilah rasa syukur didada ini dengan sebuah kesabaran dalam menerima amanahMU" Wallahualam Bishawab
disadur dari David

Salam

Minggu, 27 September 2009

Jangan Gulung Sajadahmu

“Jangan buru-buru kau gulung sajadahmu,
meski Ramadhan kan berlalu
karena ibadah tak kenal waktu”

Banyak cara menyentil hati. Seperti kata-kata diatas. Adalah sebuah petikan kalimat dari seorang desain grafis dari Jogjakarta bernama Budi Yuwono. Gambaran lengkapnya, dalam sebuah karya desain grafisnya, digambarkan sebuah sajadah yang digulung, lalu dituliskan petikan kata-kata itu. Sederhana, tapi sanggup membuat kita bercermin lagi tentang ibadah yang selama ini kita jalankan.

Seperti kenyataan yang ada, setiap bulan ramadhan masjid-masjid begitu ramai. Orang tua, remaja, anak-anak begitu riuh. Tah hanya saat menjelang buka puasa tiba. Orang-orang juga begitu bersemangat dalam menjalankan ibadah sholat taraweh bersama, mendengarkan kultum dengan semangat. Bahkan, di pagi haripun mereka berbondong-bondong menunaikan shalat subuh bersama di masjid. Pandangan yang, subhanallah.

Wajah demikian memang jarang, bahkan tak kita temukan di bulan selain ramadhan. Saat subuh tiba misalnya, masjid-masjid begitu sepi. Kalaupun ada yang sholat berjamaah bersama, tentu tak seramai di bulan ramadhan seperti sekarang ini. Namun, pemandangan selanjutnya, semakin mendekati lebaran, masjid masjid kembali seperti semula, menjadi sepi seperti biasanya.


Jangan Gulung Sajadahmu...

Apa yang engkau rasakan ketika membaca tiga kata itu? Saya kira, bagi mereka, khususnya seorang muslim yang taat, akan merasa tak enak hati, merasa begitu tersindir hatinya ketika menyadari bahwa kenyataannya, ibadah dan laku kebaikan yang dilakukan kian menyurut.

Memang tiga kata itu, “Jangan Gulung Sajadahmu” semacam kiasan. Agar, kita tak lekas menyudahi amal kebaikan dan kebajikan kita seperti yang kita kerjakan selama bulan ramadhan. Begitu juga, amalan-amalan yang kita kerjakan dengan sepenuh khusuk. Contoh kecil saja, mungkin di hari biasa kita malas untuk sholat berjamaah, di bulan ramadhan kita mendadak rajin sholat berjamaah. Akankah kebiasaan ini akan lekas kita tinggalkan?

Pesan kecil dari semua ini, jangan lekas kita sudahi kebiasaan baik ini. Biarkan sholat berjamaah menjadi kebiasaan bagi selama 11 bulan berikutnya. Begitu juga misalnya kebiasaan untuk berusaha sabar dan menahan amarah. Lihat saja, di bulan ramadhan, pengendara mobil maupun motor di ibukota lumayan sabar dan berhasil menahan amarah. Ketika mobil atau motornya diserempet orang, biasanya mereka akan maklum adanya. Oh, alangkah indahnya ketika hal demikian juga berlaku pada hari selain ramadhan.

Kini, lebaran sudah kita lewati. Tradisi khas orang Indonesia, mereka yang berada di perantauaan berbondong-bondong pulang ke kampung masing-masing. Saling bersilaturahmi, saling melepas rindu, saling berbagi cerita. Bersyukur mereka yang bisa menikmatinya, sebab banyak orang yang terpaksa menahan rindu, berteman kesepian. Tidak bisa pulang ke kampung karena berbagai hal. Uang yang tak cukup, pekerjaan yang masih menumpuk, tak kebagian tiket dsb.

Yang pasti, setelah kita disentil dengan sebaris kata karya seorang desainer grafis itu, membuat kita seharusnya malu diri. Sungguh, dia sebenarnya telah menjadi juru penyampai kebaikan, walau dengan satu “ayat” tapi sanggup membuat kita berkaca, membuat kita bercermin.

Bulan ramadhan sesungguhnya bulan penggemblengan. Hasilnya, tentu akan terlihat pada sebelas bulan berikutnya. Apakah kita akan lebih rajin beribadah? Apakah kita akan lebih giat lagi berderma? Apakah kita akan lebih peduli pada kaum yang kekurangan? Apakah kita akan lebih rajin lagi menabur kebaikan?

“Jangan Gulung Sajadahmu”...

Atas salah kata
Khilaf tanpa sengaja
Mohon maaf atas semuanya
Semoga Allah selalu memberkahi
Dan meridhoi kita. disadur dari Yons Achmad

SELAMAT BERHARI RAYA

Allah Lebih Dekat dari Urat Leher

Firman Allah swt :

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ ﴿١٦﴾
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ ﴿١٧﴾


Artinya : "Dan Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.” (QS. Qoff : 16 – 17)

Firman-Nya,” وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيد “ artinya : “dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” adalah para malaikat Allah swt lebih dekat kepada manusia dari urat lehernya. Dan barangsiapa yang menakwilkannya atas dasar ilmu maka dia akan menghindar agar tidak terjadi penyatuan antara keduanya (hulul / ittihad), dan hal itu tertolak berdasarkan ijma’, Maha Suci dan Maha Tinggi Allah swt. Namun lafazh tidaklah menunjukkan yang demikian karena Allah swt tidak mengatakan,”dan Aku lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” akan tetapi Dia swt mengatakan,”dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”

Sebagaimana disebutkan didalam ”al Muhtadhor” bahwa makna dari :


Artinya : ”Dan kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. tetapi kamu tidak melihat,” (QS. Al Waqi’ah : 85) yaitu malaikat-Nya, sebagaimana firman Allah swt :


Artinya : ”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al hijr : 85) yaitu malaikat turun dengan membawa Al Qur’an dengan izin Allah swt. Begitu pula dengan malaikat lebih dekat kepada manusia dari pada urat lehernya dengan kekuasaan Allah terhadap mereka. (Tafsir al Qur’an al Azhim juz VII hal 398)

Sedangkan makna ”ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.” yaitu Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya saat kedua malaikat mencatat amalnya. Artinya bahwa Kami lebih mengetahui tentang keadaannya dan Kami tidak memerlukan malaikat pemberitahu akan tetapi kedua malaikat itu ditugaskan untuk suatu keperluan sebagai penegasan perintah.

Al Hasan. Mujahid dan Qatadah mengatakan bahwa المتلقيان adalah dua malaikat yang mencatat amalmu, satu berada di sebelah kananmu mencatat amal kebaikanmu sedangkan yang lainnya berada di sebelah kirimu mencatat amal keburukanmu.

Al Hasan mengatakan,”Hingga jika engkau meninggal maka ditutuplah lembaran catatan amalmu lalu pada hari kiamat maka dikatakanlah kepadamu, firman Allah swt :

Artinya : "Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu". (QS. Al Israa : 14) ....demi Allah engkaulah yang telah menjadikan dirimu menghisab dirimu sendiri.” (al Jami’ Li Ahkamil Qur’an juz IX hal 11 - 12). disadur dari Era muslim

Wallahu A’lam

Rabu, 16 September 2009

Istri-istri Dulu Vs Istri-istri Sekarang

Ada uang abang disayang, tak ada uang abang diterjang. Entah ini hanya sekedar pribahasa atau kata-kata mutiara, yang pasti maknanya cukup menggelikan. Mungkin pribahasa ini lahir dari realita yang ada sekarang dimana memang para istri sudah agak ketat dan bersyarat dalam memberikan kasih sayang kepada para suami.

Sangat berbeda dengan prinsip yang dianut oleh kaum istri yang ada pada zaman salaf (istri-istri sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in) dahulu dimana mereka tidak hanya menyayangi suami ketika ada uang, tetapi juga menyayangi suami dengan kasih sayang yang mutlak, baik dalam keadaan sempit maupun dalam keadaan lapang..

Lihatlah Sayyidah Fatimah Az Zahra radhiallahu anha, penghulu kaum wanita di surga ini sangat menyayangi suaminya Sayyidina Ali karramallahu wajhah yang susah penghidupannya. Ketika sebelum menikahpun, beliau sudah sangat menyadari betapa akan susahnya nanti jika harus berumah tangga dengan Sayyidina Ali. Tetapi beliau percaya akan pemuda tawaran bapaknya ini suatu saat nanti akan menjadi surga beliau di dunia dan akhirat.


Kehidupan Sayyidina Ali yang susah bukan karena beliau seorang pengangguran, tetapi karena waktunya banyak habis di medan jihad sehingga menuntut beliau untuk kerja musiman saja memperdagangkan barang-barang dagangan orang-orang Quraisy.

Sering sekali dapur Sayyidina Ali tidak mengepul untuk beberapa hari. Sayyidina Ali, Sayyidah Fatimah dan anak-anaknya Hasan, Husain dan Zainab sering makan sehari-hari dengan buah tamar (kurma) yang keras.

Sayyidah Fatimahpun menumbuk makanannya sendiri tanpa ada pembantu sehingga tangannya yang mulia dan halus sering lecet dan menjadi kasar. Pernah Sayyidina Ali menyuruh Fatimah untuk meminta ayahnya memberikan seorang jariyah (budak wanita) untuk membantu pekerjaan rumahnya. Benar saja, ketika Nabi Saw datang ke rumah Sayyidah Fatimah (kala itu Sayyidah Fatimah kebetulan sedang menggiling gandum), beliau meminta ayahnya untuk memberikannya seorang jariyah, tapi Nabi Saw bukannya malah memberikan seorang jariyah, malah menyuruh batu gilingan yang ada di genggaman tangan Fatimah untuk bergoyang sendiri dan menumbuk gandum dengan sendirinya. Nabi Saw Bersabda, "Kalau engkau mau Fatimah batu itu dapat menjadi khadimmu (pembantu)." Dan ternyata benar saja, batu gilingan itu bergerak dan menggiling dengan sendirinya (Hingga kisah ini banyak sekali diabadikan oleh para ulama dalam berbagai kitab yang berkenaan dengan mu'jizat Rasul Saw seperti Khushushiyat Rasul karya Syaikh Nuruddin Al-Banjari dan Mawahib Al-Ladunniyah karya Imam Al-Kasthallani). Kejadian ini justru membuat Sayyidah Fatimah malu, dan entah apa yang dipikirkan oleh wanita terbaik ini hingga akhirnya Sayyidah Fatimah lebih memilih untuk bersabar dengan kehidupan susahnya dan menolak tawaran Rasul Saw. Tak lama setelah itu, Rasulullah Saw datang kembali ke rumah Fatimah dan mengajarkan kalimat subhanallah, alhamdulillah dan Allahu akbar masing-masing sebanyak 33 kali.

Sayyidina Ali sering sekali pulang dari pasar membawa hasil dagangannya.dengan hasil yang minim atau bahkan sering juga tidak sama sekali. Itupun kalau sudah dapat, Sayyidina Ali sering sekali menyedekahkannya kepada fakir miskin yang beliau temui di jalan pulangnya. Mungkin kita sering mendengar berbagai kisah Sayyidina Ali yang gemar menyedekahkan hartanya walaupun dalam keadaan susah. Di antara yang pernah saya dengar adalah pernah sudah tiga hari keluarga Sayyidina Ali tidak makan. Di rumah tidak ada apa-apa lagi yang bisa dijual selain sebuah jubah usang yang jika dijual hanya akan cukup untuk membeli beberapa potong roti saja. Tidak ada cara lain, mengingat Hasan, Husain dan Zainab sudah sangat kelaparan. Jubah usang yang sulit laku itu sepertinya memang harus dijual. Sayyidah Fatimah meminta suaminya untuk menjualnya dan uangnya dibelikan beberapa potong roti. Alhamdulillah ternyata terjual dan Sayyidina Alipun menukarkannya dengan tiga buah potong roti. Perut Sayyidina Ali yang sudah sakit keroncongan tidak ingin mencabik roti itu sedikitpun sebelum sampai di rumah dan menikmati kelezatan roti itu bersama istri dan anak-anaknya. Tapi apalah daya, di dalam perjalan menuju pulang, tiga kali Sayyidina Ali berpapasan dengan tiga orang pengemis yang kelaparan. Ketiga potong roti itupun habis dibagi-bagikan kepada para pengemis.

Anda jangan berpikir, sesampai di rumah nasib Sayyidina Ali akan tragis sebab pasti akan didamprat oleh istri yang sudah kelaparan. Ternyata tidak, setelah mengetahui Sayyidina Ali tidak membawa sedikit makananpun, Sayyidah Fatimah menyambut suaminya itu dengan penuh senyum dan rahmat. Selanjutnya saya tidak tahu, entah apa yang akan mereka makan pada hari itu. Husnuzhon saya mungkin di dalam rumahnya Allah menurunkan hidangan surga untuk keluarga itu, pastinya kita tidak ada yang tahu. Yang jelas ternyata mereka masih terus bertahan hidup untuk waktu yang lama setelah hari itu walaupun kejadian itu tidak terjadi hanya sekali atau dua kali.

Itu hanyalah salah satu contoh perilaku dari sekian banyak istri-istri di masa salaf. Kita dapat menyimpulkan bahwa akhlak mereka rata-rata adalah sabar dan tabah terhadap kesusahan hidup, ikhlas dan ridha atas musibah yang menimpa keluarga, pekerja keras, takut kepada Allah, jujur dan sangat menjaga kehormatan dan hak-hak suami baik ketika adanya maupun ketika tiadanya. Tidak pernah kita mendengar istri-istri para sahabat dan tabi'in selingkuh apalagi membunuh suami.

Coba bandingkan dengan istri-istri sekarang. Jika abang pulang tidak bawa uang, pasti loyang akan melayang dan piring-piring berterbangan. Suami jangan berharap pulang akan disambut dengan wajah bidadari yang penuh senyuman. Justru yang menyambut adalah wajah "Mak Lampir" yang penuh auman. Setelah itu berlanjut menuju meja makan, suami jangan berharap telah tersuguhkan berbagai macam hidangan, justru yang tersisa hanya kerak dan tulang. Istri-istri sekarang sudah terlalu kurang ajar, maunya hanya ketika senang, ketika susah suami ditendang. Untung hak cerai ada di tangan suami. Kalau di tangan istri, pasti di sana-sini sudah banyak janda-janda tua yang berserakan.

Sudah banyak saya mendengar kabar, istri-istri yang membunuh dan membakar suami hanya karena suami tidak mau memberi uang. Bahkan sudah ada istri yang berani melakukan mutilasi (memotong-motong tubuh menjadi beberapa bagian) terhadap suaminya. Begitu pula istri yang menusuk suami dari belakang kayaknya sudah tidak terbilang.

Banyak sudah istri-istri yang membunuh anaknya hanya karena takut suami tidak mampu membiayai. Istri yang menanam anaknya dalam septic-tank, ibu yang membakar anaknya, ibu yang mencekik anaknya dan sebagainya…pokoknya sudah terlalu sering saya dengar baik di televisi maupun di surat kabar.

Saya juga pernah menemukan beberapa istri yang sering memaki suami seperti mengatakan; suami tidak bisa diharap, suami tak tau diuntung, suami hanya bisa buat anak tapi ngga bisa ngurus anak dan sebagainya. Kalimat-kalimat ini sering saya jumpai. Alangkah malangnya nasib kaum suami di zaman bluetooth ini . Sungguh sangat berdosa besar istri yang menghardik suaminya. Dan Nabi Muhammad Saw ketika pulang dari Isra' Mi'raj bersabda:

"Aku melihat neraka maka tidak pernah aku melihat pemandangan seperti itu sama sekali. Aku melihat kebanyakan penduduknya adalah wanita." Shahabat bertanya, ”Mengapa demikian wahai Rasulullah?“ Beliau saw menjawab, “Karena kekufuran mereka.” Kemuian ditanya lagi, “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “Mereka kufur kepada suami-suami mereka, kufur tehadap kebaikan-kebaikan suami-suami mereka. Kalau engkau (wahai para suami) berbuat baik kepada salah seorang diantara mereka (istri kalian) selama waktu yang panjang kemudian dia melihat sesuatu pada dirimu (yang tidak dia sukai) niscaya dia akan berkata, "Aku tidak pernah melihat sedikitpun kebaikan pada dirimu.” (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas ra)

Inilah akibat angin yang dihembuskan oleh aktivis gender dan Barat yang sering menyuruh kaum istri menuntut persamaan dan melakukan dominasi atas kaum suami. Padahal Allah sudah bilang: و ليس الذكر كالأنثي (ال عمران: 36) "…dan laki-laki itu tidak sama dengan perempuan".

Kaum aktivis gender menyuruh kaum wanita abad modern ini untuk melomba suaminya dalam segala hal. Akhirnya mereka sekarang melomba suaminya untuk menjadi pemimpin dalam rumah tangga sehingga memiliki pendapatan yang lebih atau sama besar dengan suaminya dan ikut membiayai nafkah keluarga. Ini membuat kaum istri tidak lagi tahu harus memposisikan diri sebagai apa, apakah sebagai pelayan (khadim) ataukah sebagai raja.

Perilaku menyimpang ini sangat jauh berbeda dengan dua ratus tahun yang lalu dimana dahulu istri-istri kaum muslimin sangat patuh dan tunduk kepada suami serta khusyu' mengurus anak-anak dan kebutuhan suami. Istri-istri sekarang hanya baru merasa punya penghasilan sedikit sudah menyuruh suami untuk menjadi pelayan. Na'udzubillah min dzalik.

Dulu memang para istri kaum muslimin hidupnya lebih banyak di dalam rumah dan kerjanya hanya sekitar dapur, sumur dan kasur. Tetapi melahirkan generasi yang sholeh, patuh, kuat dan pejuang. Sekarang para istri sudah tidak mau lagi menimba air dan meniup kayu. Lihatlah anak-anaknya, hanya sebuah generasi obesitas yang lemah, malas, tak berkepribadian dan tidak tegas..

Dahulu kaum istri sangat takut mengganggu suaminya yang sedang beribadah. Bahkan merelakan jatah-jatah malamnya tidak disentuh oleh suami karena melihat suami sedang khusyu' sujud kepada Allah di tengah malam. Adapun sekarang wahai kaum suami, jangan macam-macam dengan istri anda, jika terlalu khusyu' dan lama beribadah, bisa-bisa dari belakang akan dilempar sandal.

Coba kita sedikit mundur ke zaman salaf dimana istri-istri kaum muslimin sering ditinggal oleh suaminya empat bulan, lima bulan bahkan hingga lebih 6 bulan karena berbagai kewajiban dakwah dan jihad. Mereka tidak pernah menuntut sama sekali bahwa suami harus senantiasa tinggal mengeloni istri di dalam rumah.

Lihat betapa indah akhlaq kaum istri di masa salaf (sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in). Walaupun ditinggal berbulan-bulan, tidak ada yang berani selingkuh dengan laki-laki lain. Adapun di abad 20 Masehi ini, istri-istri banyak yang selingkuh. Bukan hanya ketika suami tidak ada, tetapi juga ketika suami ada., baik di kantor, tempat-tempat shooting, pabrik ataupun tempat-tempat kerja lembur lainnya. Inilah akibat jika istri terlalu sering keluar rumah. Bekerja sebagai buruh-buruh pabrik, pelayan-pelayan toko dan restoran, hemat saya bukan pekerjaan yang sesuai dengan fitrah wanita.

Dulu para istri salaf selalu mengantarkan suaminya hingga ke depan rumah ketika hendak mencari nafkah dan berkata, "Wahai suamiku bertakwalah kamu kepada Allah, janganlah engkau memakan yang haram! Sesungguhnya kami mampu bersabar atas kelaparan dunia tapi kami tak mampu bersabar atas panasnya api neraka." (Baca Qishash At-Tabi'iyat karya Doktor Mustafa Murad)

Adapun sekarang justru kaum istri yang menyuruh suaminya melakukan perbuatan haram, melakukan korupsi, memakan harta riba dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil karena melihat tetangga mempunyai harta yang lebih dan mewah sehingga menginginkan hal yang sama pula dan jika gelang emas belum mencapai satu kilo di pergelangan tangan maka hati tidak tenang ( persis seperti toko emas berjalan).

Kaum istri di masa salaf juga melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah yang dilakukan istri-istri sekarang. Mereka membersihkan rumah, memasak, mencuci, menjaga anak-anak dan bahkan konon lebih banyak lagi sebab mereka harus memberi makan hewan ternak, menyirami dan menanam tanaman. Tidak hanya itu, mereka juga menghapalkan Alquran kepada anak-anak dan pergi ke majelis ilmu (untuk mencari ilmu mengurus suami) tetapi tidak pernah kita mendengar sahabiyat dan tabi'iyat itu mengeluh, menangis dan meminta cerai kepada suami di tengah-tengah kelelahan yang jauh lebih berat daripada kelelahan ringan yang dirasakan istri-istri sekarang..

Istri-istri abad millennium ini yang katanya abad kemajuan bagi kaum wanita, justru wanita dalam kondisi yang sangat tertinggal baik secara spiritual maupun secara emosional dibandingkan dengan istri-istri zaman penjajahan Belanda dahulu. Sekarang kita lihat istri-istri berbondong-bondong meminta cerai dari suaminya. Ada masalah atau kesusahan sedikit mereka mengeluh, merajuk dan akhirnya meminta cerai.

Padahal istri-istri sekarang tahunya hanya nonton sinetron, nonton gosip "ngrumpi" di Mall, nonton film serta pergi ke salon. Tidak ada lagi pekerjaan yang berat sebagaimana yang dirasakan oleh kaum istri zaman dahulu. Sekarang semuanya serba mudah dan instant. Mencuci pakaian sudah ada mesin cuci, menimba air sudah ada Sanyo, menghidupkan kompor tinggal putar, menyapu rumah tinggal colok, menghaluskan bumbu tinggal blender dan memijat suami tinggal hidupkan mesin. Hidup mereka sekarang sudah serba enak. Kewajiban mereka terkurangi namun menuntut hak kepada suami kok semakin besar ya?!

Logis memang sabda Rasulullah Saw, memang sudah sepatutnya perempuan itu menyembah suami karena ternyata dalam banyak hal, suami telah memberikan toleransi, kemudahan dan kasih sayang yang lebih banyak daripada istri yang lebih egois dan suka memberatkan dan menyalahkan suami.

“Jika aku boleh memerintahkan seseorang untuk menyembah yang lain, niscaya aku akan memerintahkan istri untuk menyembah suaminya.” (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)

Kalaulah kita lihat di kehidupan sekarang ini. Sudah sangat jarang kehidupan istri-istri kaum muslimin mencontoh kehidupan istri-istri salaf di atas. Kebanyakan istri-istri kita lebih memilih untuk dibilang hidup modern daripada hidup dengan kehidupan salaf.

Istri-istri kaum muslimin sekarang banyak yang tidak memakai hijab, menampakkan auratnya kepada orang lain, mengumpat keburukan-keburukan sesama dalam majelis-majelis arisan atau ketika mangkal di rumah jiran serta merendahkan istri-istri orang-orang shaleh yang senantiasa memakai hijab dan melindungi diri dari lingkungan masyarakat yang rusak spiritualnya.

Akhirnya saya melihat kehidupan salaf itu rasa-rasanya begitu dekat dengan kehidupan sebahagian kecil istri-istri sekarang yang lebih memilih untuk "berdiam diri" di rumah, kalau keluarpun seluruh auratnya tertutup rapih. Jika suaminya keluar, mereka tidak berani keluar rumah. Mereka tidak banyak tuntutan sehingga saya sering melihat suami-suami mereka tenang…menjalankan ibadah dan dakwah walaupun harus keluar jauh hingga berbulan-bulan. Subhanallah…sungguh seperti inilah dulu kehidupan salaf itu. Tragis…! Sekarang, golongan minoritas itu disebut "teroris". Sungguh salah alamat.

salam

6 Penyakit Maut yang Mengancam Pria

Jakarta, Sebuah studi mengatakan bahwa perempuan lebih sehat daripada pria. Dari 15 penyakit penyebab kematian di Amerika, kebanyakan dialami oleh pria, bahkan peneliti mengatakan pria meninggal dunia 5 tahun lebih cepat dibanding wanita. Berikut ini 6 penyakit pria yang paling banyak menyebabkan kematian.

Selain karena faktor biologis, kurangnya perhatian pria terhadap masalah kesehatan cukup berpengaruh. "Pria menempatkan kesehatan di urutan terakhir dalam prioritas hidupya. Kebanyakan mereka lebih memprioritaskan perannya di lingkungan sosial," ujar Demetrius Porche, ketua American Journal of Men's Health seperti dikutip dari WebMD, Rabu (16/9/2009).

Pria lebih jarang pergi ke dokter dibanding wanita sehingga lebih sering terkena penyakit kronis. "Selama mereka merasa sehat dan bisa tetap bekerja dengan produktif, kebanyakan pria tidak pernah memikirkan risiko penyakit atau kesehatan mereka," ujar Porche.

Berikut ini adalah 6 jenis penyakit yang paling banyak mengancam pria dan bagaimana cara mencegahnya.

1. Penyakit kardiovaskular
Penyakit yang dikenal dengan atherosclerosis ini memiliki arti pengerasan atau penegangan arteri (pembuluh darah). Adanya plak yang disebabkan oleh kolesterol dalam pembuluh darah menyebabkan arteri tersumbat dan hal tersebut memicu penyakit jantung.

Menurut CDC (Center for Disease Control), 1 dari 5 orang pria terserang penyakit ini dan umumnya mereka meninggal dunia di usia 65 tahun. Cek kolesterol setiap 5 tahun sekali mulai usia 25 tahun, kurangi konsumsi kolesterol jahat (LDL), berhenti merokok, perbanyak olahraga serta makan sayur dan buah bisa mencegah penyakit ini.

2. Kanker paru-paru
Kanker ini adalah jenis kanker paling ganas dan mematikan yang paling banyak dialami pria. Penyebarannya sangat cepat dan sulit disembuhkan. Kurang dari setengah pria yang bisa bertahan hidup setahun setelah gejalanya menyebar. Sebanyak 90 persen penyebabnya adalah rokok. Berhenti merokok sejak dini bisa mengurangi risikonya.

3. Kanker prostat
Penyakit ini biasanya timbul seiring dengan bertambahnya usia. Studi menunjukkan bahwa meskipun 1 dari 6 pria mengalaminya, tapi hanya 1 dari 35 orang yang meninggal dunia karena penyakit ini. "Pertumbuhan kanker prostat sangat lambat dibanding jenis kenker lainnya. Melakukan scan sejak dini sangat diperlukan," ujar Djenaba Joseph, MD, medical officer dari cancer prevention at the CDC.

4. Depresi dan bunuh diri
Sebelumnya para peneliti beranggapan bahwa wanita lebih banyak mengalami stres, tapi ternyata pria yang memiliki sikap menutupi masalah dan merasa bisa menanganinya sendiri lebih banyak mengalami stres. "Daripada menangis, pria yang sedang stres lebih banyak marah dan agresif. Bagi mereka tidak mungkin mengatakan bahwa dirinya sedang depresi pada orang lain, jadi mereka menanganinya dengan mabuk atau bahkan bunuh diri," ujar Porche.

5. Diabetes
Penyakit ini muncul tanpa banyak diketahui, tiba-tiba saja gula darah meningkat. Ketika pria sering kencing dan merasa haus, baru mereka pergi ke dokter. Serangan jantung, stroke, buta, gagal ginjal dan amputasi adalah penyakit lainnya yang membuntuti orang diabetes dan telah menggugurkan banyak pria ketimbang wanita. Mengurangi berat badan dan menjaga kadar gula dalam darah dengan olahraga dan makan makanan bergizi bisa mencegah diabetes, terutama diabetes tipe 2.

6. Disfungsi Ereksi
Penyakit ini mungkin tidak terlalu mengancam nyawa pria tapi tetap sebuah pertanda bahwa ada masalah kesehatan serius dalam tubuh. Pria dengan penyakit Erectile Dysfunction (ED) dilaporkan kurang bisa menikmati hidup dan cenderung lebih depresi. ED kebanyakan disebabkan oleh atherosclerosis, penyakit yang sama yang menyebabkan serangan jantung dan stroke. Dokter mengingatkan bahwa ED adalah tanda awal penyakit kardiovaskular, jadi sebaiknya lebih waspada.

Minggu, 13 September 2009

Menghina Kemiskinan

-"..biarkanlah kami berusaha dengan kemiskinan kami. Jangan Abang paksa kami, untuk menerima sedekah itu."

Sepenggal dialog dalam sinetron Ramadan, Para Pencinta Tuhan 3 yang sedang diputar di salah satu stasiun TV nasional, antara Asrul, Udin Hansip dan Bang Jack menggelitik saya. Asrul, tokoh yang cukup terpelajar tapi tidak terampil menghasilkan uang hingga kesarjanaannya hanya menghasilkan ijazah, bukan uang. Sementara Udin adalah tokoh Hansip di lingkungan RW, dan Bang Jack adalah tokoh penjaga musala yang meskipun pengetahuan agamanya baik, tapi sangat egaliter dan disegani.

Dialog di atas cukup menggelitik saya karena dialog tersebut mengingatkan kepada kita bahwa seorang Asrul dan Udin yang miskin cukup punya 'izzah' (harga diri) untuk menjaga kehormatannya. Meski ia miskin tak serta merta selalu berharap pada sedekah orang.


Ia selalu ingin berusaha mencukupi kebutuhan keluarganya dengan caranya. Meski lingkungannya, digambarkan adalah lingkungan yang sangat peduli terhadap kemiskinan tapi Asrul tidak memanfaatkan itu sebagai alasan untuk selalu berharap pada pemberian orang. Karena 'ulahnya' ini, dikisahkan menyebabkan Jalal, tokoh kaya dermawan di kampung tersebut sering kesulitan menyalurkan sedekahnya.

Orang miskin, sering dipandang adalah orang yang hanya butuh diberi. Dengan memberi, maka kita sering merasa sudah puas dan nyaman, karena berarti sudah melaksanakan ajaran agama, berupa sedekah. Dengan memberi pula, kita merasa telah menolong orang dari kesulitannya. Bila ada orang miskin yang menolak pemberian kita, maka kita terkadang merasa terhina dan jengkel.

"Sudah miskin, sombong pula", begitu sering diucapkan bila kita gagal memberi kepada orang yang dianggap miskin. Padahal, tidak semua orang miskin selalu mau diberi, bila pemberian itu dianggap akan menginjak-injak harga diri dan martabatnya. Maka, memberi pun perlu kesantunan dan kecerdasan. Kesantunan waktu memberi, kecerdasan bagaimana cara memberi.

Memberi tanpa menghinakan. Kalimat sederhana, tapi mungkin sulit dilakukan. Karena penghinaan itu sering tak tampak dan terasa oleh kita. Terkadang dengan memberi, seolah-olah memberikan mandat kepada kita bahwa posisi kita lebih tinggi daripada yang diberi.

Maka, membagikan sedekah dengan cara menyuruh orang berduyun-duyun antre sedekah pun jamak dilakukan. Tak peduli sering jatuh korban karena berjubelnya antrean. Mungkin karena dengan cara begitu, seakan-akan bisa menunjukkan kedermawanan, meneguhkan posisi 'lebih tinggi' serta bisa memberikan rasa nyaman di hati karena langsung bersentuhan dengan orang miskin.

Meski memberi lebih baik daripada meminta-minta tapi tak serta merta posisi yang diberi selalu lebih rendah dari yang diberi. Bukankah kita tidak bisa jadi pemberi, kalau tidak ada orang yang mau diberi?

Maka pada posisi ini, yang memberi dan diberi, seharusnyalah pada posisi sejajar. Memang, tak semua orang miskin mempunyai harga diri seperti Asrul. Tapi tetaplah itu tidak bisa menjadi alasan untuk kita merendahkan posisi orang miskin. Bukankah Rasul sangat mencintai orang miskin? Maka marilah memberi dengan cinta. Wallahua’lam.

"Cintailah kaum miskin dan dekatlah kepada mereka. Jika kamu mencintai mereka, Allah akan mencintai kamu. Jika kamu dekat kepada mereka, Allah akan dekat kepada kamu.jika kamu memberi pakaian kepada mereka, Allah akan memberi pakaian kepada kamu. Jika kamu memberi makanan kepada mereka, Allah akan memberi makan kepada kamu. Dermawanlah kamu, niscaya Allah akan membalas kedermawanan kamu." (HR. Dailami) Wallaahualam Bishawab

disadur dari Rini.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger