Minggu, 22 Februari 2009

Hikmah

Lembaran kertas putih merasa tak nyaman ketika baru saja keluar dari pabrik. Ia merasa bingung dengan kenyataan dirinya. Tidak ada garis, tulisan, atau warna apa pun kecuali putih. Tapi, wujudnya berbentuk buku seperti yang lain. “Kok aku beda?” tanya si buku polos ke lembaran buku tulis yang lain. “Beda?” sergah salah satu buku tulis bergaris. “Iya. Coba perhatikan, kamu tercetak dengan garis-garis teratur. Ada yang kotak-kotak. Yang lainnya lagi bahkan ada yang tertulis dengan huruf berwarna disertai kartun lucu,” ucap buku polos bersemangat. “Sementara aku? Boro-boro kartun lucu, satu garis pun tak ada yang hinggap!” tambah si buku polos menggugat.
“Jadi, kamu tak terima?” tanya buku bergaris teratur, lembut. “Tentu saja! Ini tidak adil!” sergah si buku polos begitu spontan. Semua terdiam. Semua jenis buku tulis mulai ambil jarak dengan buku polos. Mereka khawatir kalau ketidakpuasan bukan sekadar gugatan, tapi berubah jadi tindakan.
Hingga...Seorang anak manusia mengambil buku polos dengan tangan kecilnya. Lembaran buku tak bergaris dan berwarna itu pun dipandangi sang anak begitu tajam. Entah apa yang dilakukan, beberapa menit kemudian, buku polos itu tak lagi putih sepi. Ia sudah berubah menjadi halaman penuh warna. Ada goresan merah, hijau, biru, kuning, dan berbagai perpaduan warna lain. Ketika buku itu ditinggalkan sang anak, beberapa buku lain datang menghampiri. Semua terperanjat. Karena lembaran yang semula polos, kini berubah menjadi bentuk lukisan penuh warna. “Aih indahnya!” gumam semua buku tulis begitu kagum. Saat itulah, sang buku polos sadar. Selama ini, ia salah. Kepolosannya tanpa garis bukan bentuk penghinaan terhadap dirinya. Bukan juga ketidakadilan. Tapi, karena ia akan menjadi wadah berbagai goresan warna seni yang akan membentuk karya indah. “Ah, aku ternyata buku gambar!” ucap si buku polos akhirnya. **

Hidup ini penuh warna. Hampir tak ada yang sama pada ciptaan Allah. Walaupun, masih sama-sama manusia. Ada yang kaya, cukup, dan kurang. Ada yang cantik, tampan; ada pula yang biasa saja. Ada yang berhasil dan sukses, tidak sedikit yang merasa gagal.
Tidak jarang, seorang anak manusia mengambil pandangan dari sudut yang sempit. Bahwa, kegagalan adalah sebuah ketidakberdayaan. Bahwa, belum tampaknya peluang-peluang berkarya adalah ketidakadilan. Hingga, jauhnya jodoh buat para lajang merupakan sebuah hukuman. Cermati dan pelajari. Karena boleh jadi, di balik kegagalan ada rahasia kesuksesan. Di balik sempitnya peluang, ada ujian kemampuan. Di balik lajang yang berkepanjangan, ada pendidikan kemandirian. Dan di balik kertas polos, ada peluang warna-warni keindahan goresan kehidupan. Disadur dari(muhammadnuh@eramuslim.com)

salam

Jumat, 20 Februari 2009

Makna Waktu

Untuk memahami makna satu tahun, tanyalah seorang siswa yang gagal ujian kenaikan kelas.
Untuk memahami makna satu bulan, tanyalah seorang ibu yang melahirkan bayi prematur. Untuk memahami makna satu minggu, tanyalah seorang editor mingguan. Untuk memahami makna satu hari, tanyalah seorang pekerja yang dengan gaji hariannya. Untuk memahami makna satu jam, tanyalah seorang gadis yang sedang menunggu kekasihnya.


Untuk memahami makna satu menit, tanyalah sesorang yang ketinggalan kereta.
Untuk memahami makna satu detik, tanyalah seseorang yang selamat dari kecelakaan. Untuk memahami makna satu mili detik, tanyalah seorang pelari yang meraih medali perak di olimpiade.

Dan akhirnya sadarkah anda bahwa waktu terus berlalu?
Siapkah anda mempertanggungjawabkan kepada Allah?
Bagaimana anda menggunakan waktu dalam setiap mili detiknya?

Jika seorang hamba mendekatkan dirinya kepadaKu sejengkal-sejengkal, Aku mendekatkan diriKu sehasta-sehasta. Jika seorang hamba mendekatkan dirinya sehasta-sehasta, Aku dekatkan diriKu sedepa-sedepa. Dan jika seorang hamba mendekatkan diri dengan berjalan, maka Ku dekatkan diriKu dengan berlari. (Hadits Kudsi)
Allah senantiasa memelihara kita. Biji mata kita tidak boleh kering, karenanya Allah buat agar mata kita selalu berkedip agar biji mata kita selalu basah. Pernahkan kita menghitung berapa ribu kali kita mengedipkan mata sehari semalam? Kenapa Allah selalu membuat mata kita selalu berkedip? Karena Allah sang Pemilik mata kita bahkan jiwa dan raga kita. Kita hanya meminjam pasilitas Allah. Begitu sayangnya Allah kepada kita, hingga biji mata kita pun tidak boleh kering.
Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan (QS:55:13).
Apakah kita termasuk orang -orang yang mensyukuri nikmat, atau kufur nikmat?

Wallahu'alam bisshawab.

salam

Jumat, 13 Februari 2009

Perbedaan Mu'min dengan Kafir

Saudaraku, sungguh berbeda sikap, perasaan dan perilaku seorang mu’min dibandingkan seorang kafir. Bila seorang beriman melakukan suatu kegiatan maka di dalam qalbunya hadir harapan untuk meraih hasil kegiatannya di dunia sekaligus di akhirat. Dan Nabi menjamin bahwa kedua kebaikan ini pasti didapat oleh seorang mu’min sebagai balasan atas kegiatannya itu. Adapun seorang kafir boleh jadi mendapat balasan perbuatannya di dunia, namun di akhirat ia tidak akan memperoleh balasan apapun selain siksaan dan penderitaan berkepanjangan. Semua itu dialaminya sebagai akibat dari kekafirannya kepada Allah dan agama Allah. Perhatikanlah sabda-sabda Nabi di bawah ini:


إِنَّ الْكَافِرَ إِذَا عَمِلَ حَسَنَةً أُطْعِمَ بِهَا طُعْمَةً مِنْ الدُّنْيَا وَأَمَّا الْمُؤْمِنُ
فَإِنَّ اللَّهَ يَدَّخِرُ لَهُ حَسَنَاتِهِ فِي الْآخِرَةِ وَيُعْقِبُهُ رِزْقًا فِي الدُّنْيَا عَلَى طَاعَتِهِ
”Seorang kafir jika berbuat kebaikan di dunia, maka segera diberi balasannya di dunia. Adapun orang mu'min jika berbuat kebajikan, maka tersimpan pahalanya di akhirat di samping rizqi yang diterimanya di dunia atas keta'atannya.” (Muslim 5023)
إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مُؤْمِنًا حَسَنَةً يُعْطَى بِهَا فِي الدُّنْيَا وَيُجْزَى بِهَا
فِي الْآخِرَةِ وَأَمَّا الْكَافِرُ فَيُطْعَمُ بِحَسَنَاتِ مَا عَمِلَ بِهَا لِلَّهِ فِي الدُّنْيَا
حَتَّى إِذَا أَفْضَى إِلَى الْآخِرَةِ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَةٌ يُجْزَى بِهَا
”Sesungguhnya Allah tidak menganiaya (mengurangi) seorang mu'min hasanatnya, diberinya di dunia dan dibalas di akhirat. Adapun orang kafir, maka diberi itu sebagai ganti dari kebaikan yang dilakukannya di dunia, sehingga jika kembali kepada Allah, tidak ada baginya suatu hasanat untuk mendapatkan balasannya.” (Muslim 5022)
Sedangkan ayat berikut ini dengan jelas menggambarkan bahwa orang kafir tidak akan memperoleh balasan kebaikan apapun di akhirat kecuali siksa neraka. Kendati demikian, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang tetap berlaku adil dengan menjanjikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan.
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ
فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ
فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan" (QS Hud15-16)

Tetapi apalah artinya balasan di dunia jika harus menderita di akhirat selamanya. Persis seperti kelakuan pasukan Israel yang mengira bahwa mereka memperoleh kemenangan dengan membantai rakyat Palestina menggunakan mesin perang modern buatan AS. Mereka berbuat sekehendaknya dan merasa penuh kuasa tanpa rasa bersalah sedikitpun menghabisi anak-anak dan kaum wanita Palestina. Mereka berbuat demikian karena hanya memahami kehidupan sebatas dunia fana ini. Mereka samasekali tidak peduli dan tidak percaya akan adanya kehidupan akhirat. Andai mereka benar-benar percaya akan keberadaan kehidupan akhirat, niscaya mereka tidak akan bertindak sebrutal yang mereka pertunjukkan. Kalaupun mereka dianggap menang sesungguhnya kemenangannya sebatas di dunia belaka. Sedangkan di akhirat nanti mereka ditunggu oleh siksa api neraka.
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ
نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا

"Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir." (QS Al-Israa ayat 18).

Salam.

Manfaat Udara

Di sebuah kelas, seorang guru bertanya kepada murid-murid di hadapannya. "Menurutmu, benda apa di dunia ini yang paling baik pada manusia?" Murid-murid tampak berpikir keras. Ada yang tatapannya menyapu seisi kelas, seolah mencari sesuatu. Ada yang bisik-bisik dengan teman sebangku. Dan ada yang tetap diam. "Air, Pak Guru!" jawab seorang anak tiba-tiba.
"Kamu benar!" ucap Pak Guru menyambut jawaban seorang muridnya. "Air memang menyediakan kehidupan. Tapi, tidakkah kamu perhatikan, air cuma mengairi manusia-manusia di sekitar aliran sungainya. Manusialah yang harus menjemput air. Bukan sebaliknya!" tanggap Pak Guru begitu lugas. Beberapa saat, suasana kelas hening. "Cahaya, Pak Guru!" ucap seorang murid yang lain. "Kenapa cahaya?" tanya Pak Guru memancing. "Karena cahayalah kita bisa melihat. Bayangkan jika tanpa cahaya. Dunia akan gelap!" jelas si murid begitu mantap.

"Kamu juga benar!" jawab Pak Guru. "Tapi, tidakkah kamu perhatikan kalau saat istirahat manusia tak butuh cahaya. Ada saatnya cahaya bisa menemani. Ada saatnya tidak," ungkap Pak Guru kian membuat suasana kelas lebih serius. "Gimana? Ada yang ingin berpendapat?" tanya Pak Guru memecah keheningan kelas yang mulai agak lama. Tapi, yang ditunggu tak juga muncul. Murid-murid tampak bingung. Tiba-tiba, ada seorang murid mengacungkan jari. "Udara, Pak Guru!" ucapnya begitu yakin. "Ya, saya lebih setuju pendapat itu!" ucap Pak Guru memberikan respon positif. "Kenapa, Pak?" tanya murid-murid hampir bersamaan.
"Menurut saya," ucap Pak Guru sambil menatap murid-murid begitu serius. "Udara memberi kebaikan dengan mendatangi manusia. Bukan sebaliknya. Tanpa memamerkan diri, ia akan bersusah payah menyelinap di lubang sekecil jarum sekali pun, demi memenuhi kebutuhan manusia. Udara pula yang selalu menemani manusia, di mana dan kapan pun," jelas Pak Guru begitu meyakinkan. Dan murid-murid pun mengangguk setuju. **

Dalam pentas kehidupan, selalu ada pegiat kebaikan. Mereka memberi tanpa pamrih. Mereka pun berlomba untuk bisa menjadi yang paling bermanfaat. Berusaha memberi dengan yang terbaik. Namun, tidak semua yang baik adalah yang terbaik. Bercermin pada tiga makhluk Allah seperti air, cahaya, dan udara mungkin akan menambah nilai kebaikan. Bahwa, produk kebaikan harus mengejar, bukan dikejar. Dan yang menarik, ia selalu bersama dengan yang membutuhkan, walaupun orang tak menganggap keberadaannya. Kalau saja pegiat kebaikan memahami peringkat udara, ia pasti tak akan berpuas diri cuma sebagai air atau cahaya.
Salam.
Di sadur dari eramuslim(mnuh)

salam

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger