Jumat, 25 Desember 2009

Momentum Iedul Qurban tahun ini membuat saya membaca berulang kali beberapa literatur tentang pengorbanan yang dilakukan Ibrahim Alaihis-salam. Saya yakin, anda sudah mengetahui hal ini. Saya mendalami makna cinta yang begitu kuat dalam hati Ibrahim As kepada Tuhannya, hingga ia rela mengorbankan apa saja yang terbaik miliknya demi mempertahankan kecintaan yang luar biasa itu.
Membahas tentang pengorbanan berjuang di jalan Allah, ada satu kisah yang hendak saya sampaikan atas perjalanan hidup yang Allah hadiahkan kepada saya.

Dompet Dhuafa Kaltim mengundang saya untuk berpartisipasi dalam acara yang mereka buat demi membantu saudara-saudara korban gempa bumi di Sumatera Barat pada medio Oktober lalu. Tiket sudah dipesan, acara telah dirancang, hanya menunggu hari 'H'. Tanggal yang dimaksudpun tiba.
Seperti perjalanan ke luar kota sebelum-sebelumnya, saya menganggap bahwa ini adalah perjalanan dakwah biasa-biasa. Namun ternyata tidak!
Pesawat dikabarkan delayed 30 menit. Sebab saya merasa lapar saat itu, maka saya pun pergi mencari makan. Begitu saya kembali ke ruang tunggu rupanya sudah sepi, dan saya diberitahu bahwa pesawat sudah menutup pintu dan hendak berangkat beberapa saat.
Sedikit 'nerved', saya berargumen kepada petugas bahwa saya tidak mendengar panggilan atas nama saya atau pemberitahuan bahwa pesawat akan diberangkatkan. Setelah berupaya menghubungi pihak pesawat, petugas itu pun memberitahukan saya bahwa saya bisa naik ke pesawat. “Alhamdulillah. ..!” pekik saya. Andai saya tertinggal pesawat, maka tak bisa dibayangkan kekecewaan panitia penyelenggara di Balikpapan.

Beberapa saat kemudian, pesawat tiba di bandara Sepinggan, Balikpapan. Saya dijemput oleh perwakilan panitia. Dalam perjalanan menuju hotel, saya menanyakan lokasi acara. Mereka memberitahukan bahwa acara digelar di masjid Istiqomah. Saya bertanya , “Apa ada jemaahnya... bukankah ini malam minggu dan acara digelar pukul 20?” Dengan santai panitia menjawab, “Tenang pak...., insya Allah jemaahnya banyak. Sudah beberapa kali masjid ini bikin acara pada waktu serupa, Alhamdulillah jemaah antusias untuk datang.” Saya sedikit terhibur mendapat jawaban itu.

Rupanya benar dugaan saya, jemaah yang saya harap akan banyak hadir rupanya hanya memenuhi kira-kira seperempat dari kapasitas ruang masjid. Banyak terlihat 'space' melompong di sana-sini. Agak sedikit prihatin dengan jumlah jemaah yang ada, dan saya berpikir keras tentang target penggalangan dana panitia, maka saya pun berujar dalam hati, “Ya Allah, semoga kami mampu memberi yang terbaik di jalan-Mu!”
Jujur saja, sebelum memulai menyampaikan materi, saya sedikit pesimis akan dana yang hendak digalang. Namun berulang kali saya berhenti berceramah untuk sekedar meluruskan niat Lillahi Ta'ala.

Maka saat penggalangan dana pun tiba. Saya melihat mereka semua antusias mengulurkan tangan memberi bantuan. Namun lagi-lagi karena jumlah audiens yang sedikit saya merasa khawatir akan jumlah dana yang tidak akan menyentuh target.
Alhamdulillah. .. dana terkumpul beberapa belas juta rupiah malam itu, namun jumlah itu saya yakin masih jauh dari target panitia.

Hanya kepada Dia Yang Maha Agung, kita sepantasnya berserah diri.

Malam itu bagi saya bukanlah sebuah prestasi dakwah yang menggembirakan. Saya sedikit prihatin dan kecewa. “Mengapa hanya segini rezeki yang Allah karuniakan dalam majelis kita?” batin saya.

Namun rupanya kekhawatiran itu segera dijawab Allah Swt. Seorang panitia datang kepada saya memberitahukan bahwa ada seorang jemaah hendak minta waktu untuk berbicara.
Setelah saya bersedia maka jemaah tersebut dipersilakan dan kami pun duduk berdua di karpet masjid.

Dia adalah seorang anak muda berusia 27 tahun, sebutlah namanya Hakim. Dari wajahnya saya melihat ada sinar yang Allah pancarkan ke dalam hatinya.
Ia mengajak bicara beberapa menit sebagai pembuka. Saat saya tanya apa keinginannya, maka Hakim berkata, “Tadi bapak dalam ceramah menyampaikan berulang-ulang untuk memberi yang terbaik di jalan Allah.” “Ya, betul!”jawab saya.
Hakim melanjutkan, “Tadinya saya ingin memberikan hape saya ini sebagai infak...” Kalimat dari mulutnya terputus. Ada jeda beberapa detik bagi Hakim untuk menyambung kalimatnya. Saya pun penasaran menunggu selama itu.
“Namun setelah pikir-pikir, sepertinya saya urung memberi hape ini” jelas Hakim.
“Lalu apa yang hendak Anda sampaikan kepada saya?” saya bertanya kepadanya. Hakim pun menjawab, “Setelah saya berpikir ulang, maka saya mendapati bahwa harta terbaik yang saya miliki bukanlah hape, tapi saya mohon bapak menerima ini sebagai infak dari saya!”
Maka Hakimpun menjulurkan tangannya kepada saya seolah ingin berjabat, dan saya pun menyambut tangannya yang terulur.
Namun saya merasa ada sebuah benda cukup besar yang terselip antara telapak tangan kami. Saya bertanya kepada Hakim, “Apa ini?” Dia menjawab, “Itu harta terbaik yang bisa saya infakkan, pak!”
Saya pun membuka telapak tangan saya. “Subhanallah. ..!” saya terperanjat. Kini ditelapak tangan saya ada sebuah kunci mobil.
Saya terkagum, terpesona, dan sesaat terbungkam. Betapa terperanjat hati saya sehingga bola mata terasa hendak meloncat saat menerima infak sebesar ini.
Seketika itu juga hati saya berbunga sebab merasa terhibur dengan anugerah luar biasa yang Allah berikan kepada saya.
Dana yang telah digalang malam itu yang bernilai hanya beberapa belas juta rupiah, rupanya dilengkapi Allah Swt dengan sebuah mobil milik Hakim yang ia infakkan dengan harga saya yakin lebih dari 100 juta rupiah.

Hakim, 27 tahun memberikan harta terbaik yang ia miliki untuk membantu saudara-saudaranya yang menjadi korban gempa di Sumatera Barat.
Ia berkorban dengan sepenuh hati dan kesadaraan penuh. Meski mungkin kini ia belum punya mobil lagi, namun saya yakin hatinya sudah setenang nabiyullah Ibrahim Alaihis-salam saat hendak mengorbankan anaknya tercinta. Ya, ketenangan dan kedamaian yang diberikan kepada Ibrahim As dari Allah Swt yang kagum atas pengorbanan hamba-Nya.
disadur dari Boby.

salam

Ruh Ma'rifat

Dari Anas bin Malik ra: Rasulullah Saw, bersabda:
“Islam itu jelas (lahiriah), dan Iman itu ada dalam qalbu, sedangkan Taqwa di sini.”

Rasulullah Saw, mengulang sampai tiga kali sambil menunjuk dengan tangannya ke arah dada beliau. Taqwa yang menetap
di qalbu, lalu membuat iman menjadi kokoh, adalah ruh ma’rifat
itu sendiri.”
Saudaraku yang mulia! Sesungguhnya Allah Swt, menjadikan segalanya dengan kepastian, dan setiap kepastian itu ada batasan, dan setiap batasan ada sebabnya, setiap sebab ada waktunya, dan setiap waktu ada ketentuannya, setiap ketentuan ada perintah, setiap perintah ada makna, dan setiap makna ada benarnya, setiap yang benar ada kebenarannya, dan setiap kebenaran ada hakikatnya, setiap hakikat ada ahlinya, dan setiap ahlinya ada tandanya.
Dengan tanda itu bisa diketahui siapa yang berbuat benar dan siapa yang berbuat batil. Setiap qalbu didudukkan di hamparan perwujudan ma’rifat, dimana kema’rifatan itu memantul pada wajahnya dan berpengaruh pada gerak gerik lahiriahnya, tindakan dan ucapannya, sebagaimana firman Allah Swt :

“Kamu sekalian mengenal mereka dengan tanda-tanda mereka.”

Rasulullah Saw, bersabda:

“Siapa yang menyembunyikan rahasia jiwa, Allah memakaikan padanya pakaian rahasia jiwa. Jika ia baik, maka menjadi baik.
Jika ia buruk, maka jadi buruk.”


Sebaik-baik pekerti: Kaum Sholihin
Yahya bin Mu’adz ra, ditanya, “Bagaimana pekerti kaum ‘arifin bisa menjadi elok wajahnya, dan lebih kharismatik dibanding
yang lain?”
“Karena mereka menyendiri bersama Allah penuh dengan kemesraan. Mereka mendekat kepada Allah Swt, menghadap total, dan berangkat kepadaNya penuh kepatuhan. Maka Allah Swt, memberikan pakaian cahaya ma’rifatNya kepada mereka, yang didalamNya mereka bicara, dan bagiNya mereka beramal, dariNya mereka mencari, kepadaNya mereka bersukacita. Merekalah kaum istimewaNya (khawash) yang terdepan. Langkahnya dalam taat kepada Allah Swt, tanpa sedikit pun bergantung pada lainNya, dan mereka menasehati khalayak umum tanpa sedikit pun ada pamrih.

Mereka senantiasa merindu, kembali kepada Allah Swt, qalbunya penuh rasa takut, jiwanya penuh rasa gentar, hati mereka adalah IstanaNya, akal mereka terselubungi, ruh mereka membubung luhur, dan semuanya terlindungi dengan hatinya dari fitnah manusia.
Dzikir mereka menjaganya dari was-was buruk, dadanya melapang luas, dan jasadnya terbuang dari khalayak, qalbunya terluka, sedang pintu-pintu alam malakut senantiasa terbuka bagi mereka. Qalbu mereka bagai pelita. Anggota badan mereka tunduk bagai terikat kuat, lisannya sibuk membaca Al-Qur’an, romannya menguning karena ketakutan akan jauh dari Allah Swt, dan jiwanya tercurah bagi khidman pada Ar-Rahman, hatinya terpancarkan cahaya iman, jiwanya sibuk mencari, ruhnya sibuk mendekat Tuhan. Sedang pada ucapannya ada sifat menunjukkan kepada Ketuhanan Allah Swt, pada tiang-tiang dirinya penuh kelanggengan khidmah, dan pada jiwanya ada pengaruh kehambaan, dalam hatinya ada kharisma Fardaniyah, dalam rahasia batinnya ada hasrat membubung ke Uluhiyah, sedang dalam ruhnya ada keterpesonaan pada Wahdaniyah.

Bergantungnya kaum ‘arifin dengan Allah swt.
Bibir-bibir mereka senantasa tersenyum kepadaNya. Mata mereka senantiasa memancar kepadaNya. Qalbu-qalbu mereka terus bergelayut kepada Allah Swt, hasrat mereka sinambung kepadaNya, rahasia batin mereka terus menerus memandangNya. Mereka melemparkan dosa-dosa mereka ke samudera taubat, dan mereka menghamburkan kepatuhannya ke samudera anugerah. Mereka buang gerak gerik batinnya ke lautan Keagungan. Dan kehendak mereka terlempar ke lautan sucinya jiwa, bahkan hasrat mereka adalah samudera mahabbah.

Di medan khidmah kepadaNya mereka berlalu lalang. Di bawah payung kemuliaan mereka saling merenda keindahan.
Dan di taman rahmatNya mereka merambat, lalu mereka mencium aroma anugerah yang wangi.
Mereka memandang dunia dengan mata perenungan, memadang akhirat dengan mata penantian, memandang nafsunya dengan mata hina, memandang taatnya dengan mata penuh kekurangan, bukan dengan mata merasa amal.

Mereka memandang ampunan dengan mata kebutuhan, memandang ma’rifat dengan mata kegembiraan, memandang Yang Di ma’rifati Allah Swt, dengan mata kebanggan. Mereka melemparkan nafsunya dalam negeri cobaan, dan melemparkan ruhnya ke negeri akhirat kemudian, qalbu-qalbu mereka menuju keluhuran dan kharisma, lisan mereka sumber puja dan pujian, ruh mereka adalah tempat-tempat rindu dan cinta, sedangkan nafsu mereka dikendalikan oleh akal dan kecerdasan.
Hasrat mereka lebih banyak untuk kontemplasi dan tafakkur. Ucapan terbanyak mereka adalah memuja dan memujiNya. Amal mereka adalah taat dan khidmah. Pandangan mereka hanya kelembutan dibalik ciptaan Rabbul Izzah Swt.

Diantara mereka anda lihat pucat menguning wajahnya karena rasa takut pisah denganNya, sendi-sendinya gemetar karena Kharisma KebesaranNya. Begitu panjang mereka menunggu penuh rindu bertemu denganNya. Mereka menempuh Jalan Al-Musthafa. Mereka lempar dunia ke belakang tengkuknya. Mereka rasakan kesenangan nafsu sebagai konsumsi kehampaan. Mereka lebih berteguh pada pijak telapak keserasian yang benar.

Perilaku pecinta pada Tuannya.
Perilakunya di dunia selalu asing. Qalbunya di dadanya merasa gersang. Rahasia batinya dalam nafsunya juga terasing. Sang pecinta tak pernah istirahat dari kegundahan keterasingan dan kegentarannya, sepanjang ia belum sampai pada Sang Kekasih. Perkaranya aneh. Sedang Allah Swt adalah penyembuhnya. Ucapannya senantiasa penuh dengan limpahan ekstase, qalbunya menyendiri, akalnya serba Allah Swt (Rabbani), hasratnya serba bergantung padaNya (Shomadani), hidupnya ruhani, amalnya Nuraniyah, dan ucapannya serba langit (samawiyah).
Allah Swt, jadikan hatinya tempat rahasiaNya, tempat pandanganNya, lalu diriasnya dengan keelokan hiasan RububiyahNya, dan dimasukkan ke negeri aturan dari kekuasaanNya.

Ia berputar mengitari keagunganNya dengan nurani qalbunya, dan membubung tinggi ke Taman SuciNya, lalu terbang dengan sayap-sayap ma’rifat menuju kemah-kemah rahasiaNya,
berjalan ke meda-medan qudratNya, menembus hijab JabarutNya.
Seandainya orang bodoh melihatnya, ia mati seketika, setelah mengenalnya ketika itu. Tandanya, bencana dunia baginya adalah madu. Kegelisahan adalah buah ranum indah, ketika di akhirat setiap orang berkata: Oh nasibku…duhai nasibku! Sedangkan
ia malah berkata: Rabbi…Rabbi..! Engkaulah hasrat kehendakku…hasrat citaku…!
Sang arif punya empat tanda:
• Cintanya kepada sang Maha Agung
• Meninggalkan apapun yang banyak maupun yang sedikit,
• Mengikuti jejak At-Tanzil (Qur’an dan Sunnah)
• Ketakutannya jika ia harus berpindah dari Tuhannya.
Sang hamba punya bagian. Sang penakut punya rasa ingin lari. Sang pecinta punya asmara. Sang arif punya kegirangan. Wallahualam Bishawab.


salam

Pengajian Syeikh Abdul Qadir al-Jilany,

Syeikh Abdul Qadir Al-Jilany - Pengajian Syeikh Abdul Qadir al-Jilany,
hari Selasa bulan Sya’ban tahun 545 H di Madrasahnya

Belajarlah, lalu amalkan, dan ikhlaslah dalam beramal, hingga anda bisa tajrid (menepiskan) makhluk dari hatimu. “Katakankan: “Allah”. Lalu tinggalkan mereka dalam kesesatanannya mereka bermain.”
(Al-An’aam: 91)

Seperti ungkapan Nabi Ibrahim as:
“Sesunggunya mereka itu musuh bagiku, kecuali Tuhan semesta alam.” (Asy-Syu’ara’: 77)

Hindari makhluk (dari hatimu) dan singkirkan mereka sepanjang mereka membuatmu berbahaya. Bila tauhidmu sudah benar dan kotoran syirik keluar dari hatimu, baru anda bergaul dengan mereka dan memberikan manfaat pada mereka melalui pengetahuan dan petunjuk menuju Pintu Tuhan mereka Azza wa-Jalla.

“Kematian” diri seorang Ulama’ Khos adalah mati dari totalitas makhluk Allah, yaitu kematian hasrat dan ikhtiarnya sendiri. Jika seseorang benar dalam kematian ini, benar pula hidupnya yang abadi bersama Allah Azza wa-Jalla. Maka pada saat itlah anda merasakan betapa kematian lahiriyah hanya sejenak belaka, seperti ketaksadaran dalam tidur, lalu bangun.
Bila anda ingin meraih kematian ini, anda harus meraih inti ma’rifat dan taqarrub serta tidur di hamparan Al-Haq Azza wa-Jalla, hingga dirimu diraih oleh Tangan Rahmat dan Anugerah, lalu anda hidup dalam keabadian. Karena nafsu butuh makanan, qalbu juga butuh makanan, begitu pula rahasia qalbu juga butuh makanan. Di sinilah Nabi saw, bersabda:
“Aku sebenarnya berlindung pada Tuhanku, lalu Dia memberi makan dan minum kepadaku.” (Hr Ahmad)

Yakni makanan rahasia maknawi, yang dimakan oleh ruhku yang ruhani, lalu Dia memberi konsumsi dengan makanan yang spesial padaku.
Pada awalnya menanjak dengan lahiriyahnya dan qalbunya, setelah itu lahiriyahnya terhadang dan hatinya yang menanjak serta rahasia hatinya, baru beliau hadir di tengah publik manusia. Begitu pula para pewaris Nabi saw, yang secara hakiki memadukan antara ilmu, amal, keikhlasan dan pendidikan terhadap makhluk.
Wahai kaum Sufi, makanlah dan minumlah dari sisa-sisa mereka…! Wahai orang yang mengaku berpengetahuan. Apa artinya pengetahuan tanpa amaliah, dan apa artinya amal tanpa keikhlasan, karena amal tanpa ikhlas ibarat jasad tanpa ruh.

Tanda keikhlasan anda, manakala anda tidak menengok lagi pada pujian makhluk, juga tidak terpengaruh oleh cacian mereka, bahkan tidak berharap pada jasa makhluk. Bahkan anda melakukannya demi menegakkan Hak Ketuhanan. Anda beramal bagi Sang Pemberi nikmat, bukan demi nikmatNya. Hanya bagi Sang Pemilik, bukan pada milikNya. Bagi Yang Haq, bukan pada yang batil.
Apa yang ada di sisi makhluk hanyalah kulit, sedangkan isinya ada pada Tuhan Azza wa-Jalla. Jika kejujuran hatimu dan ikhlasmu benar bagiNya, dan wukufmu di hadapan Rabb benar, Allah memberi konsumsi dirimu dari minyaknya isi tersebut. Dan anda diperlihatkan isi sejati, dan rahasianya rahasia, maknanya makna, maka saat itulah anda lepas dari segala hal selain Allah swt.

Lepas telanjang hanya di hati bukan di fisik. Zuhud itu bagi hati, bukan jasad. Berpaling itu hanya pada batin, bukan pada dzohir. Memandang itu pada makna-maknanya bukan pada kerangkanya. Memandnag itu pada Al-Haq Azza wa-Jalla, bukan pada makhluk. Yang urgen adalah bagaimana anda bersama Allah bukan bersama makhluk. Maka akhirat dan dunia sirna, lalu tanpa dunia dan tanpa akhirat. Tak ada selain Dia Azza wa-Jalla.

Maka, para pecinta menikmati kecintaannya bersama Allah Azza wa-Jalla, mereka adalah kalangan terpilih dari makhlukNya, disebabkan cobaan yang menimpa mereka secara fisik. Orang-orang syuhada’ adalah orang yang mati berperang akibat pedang orang kafir, dimana cobaan fisik menimpa mereka. Bagaimana dengan Syuhada’ yang mati karena pedang-pedang cinta? Wallahualam Bishawab.

Salam

Diriwayatkan pada sebagian kitab Allah Swt:
Bahwa Jibril as, sedang turun ke bumi. Lantas ia melihat sosok lelaki yang memiliki pancaran ketenangan.
“Betapa hebat lelaki ini,” kata Jibril.
Kemudian Allah Ta’ala berfirman pada Jibril, “Hai Jibril! Lihat namanya di Lauhul Mahfudz yang berderet dengan nama-nama
ahli nereka!”
“Tuhanku, lalu apakah semua ini?” Tanya Jibril.
“Hai Jibril! Sesungguhnya Aku tidak dimintai pertanggung-jawaban apa yang Kulakukan, dan tak seorang pun tahu dari semua makhlukKu apa pun PengetahuanKu, kecuali yang Aku kehendakinya…” jawab Allah Ta’ala.
“Oh Tuhan, apakah Engkau meberi izin padaku untuk memberi informasi atas apa yang aku ketahui?”
“Silahkan, engkau dapat izin…” jawab Allah Ta’ala.
Jibril as lalu turun ke bumi memberi kabar apa yang sesungguhnya terjadi dan bagaimana situasi sebenarnya yang menimpa orang itu. Tiba-tiba orang itu malah bersujud, sembari bermunajat, “Bagimulah segala puji wahai Tuhanku atas ketentuanMu dan takdirMu. Pujian yang melebihi pujian orang-orang yang memujiMu, dan semakin tinggi dibanding syukurnya orang-orang yang bersyukur.”

Orang itu terus memuji Allah Ta’ala hingga Jibril as menduga bila orang tadi tidak mendengar apa yang telah disampaikan.
“Hai hamba Allah, apakah kamu mendengar apa yang ku ucapkan?” Tanya Jibril as.
“Ya, aku mendengar. Engkau memberi kabar bahwa engkau telah mendapatkan diriku berada diantara deretan daftar ahli neraka di Lauhul Mahfudz sana…”
“Lalu kenapa masih saja memujiNya dan bersyukur padaNya?” Tanya Jibril penasaran. “Subhanallah wahai Jibril! Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menentukan dengan sepenuh kesempurnaan ilmuNya, dan keleluasaan rahmat dan kasihNya, dengan kelembutan RububiyahNya, serta hakikat hikmahNya. Lalu apalah artinya aku sampai aku tidak rela? Maha Berkah Allah Tuhanku….”
Lalu orang itu sujud kembali, dan terus menerus bertasbih
dan bertahmid. Kemudian Jibril as, kembali kepada Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman pada Jibril, “Kembalilah ke Lauhul Mahfudz, dan lihatlah apa yang bakal kau lihat….” Jibril kembali ke Lauhul Mahfudz, tiba-tiba nama orang tersebut berderet dengan daftar nama-nama ahli syurga.Wallahu alam Bishawab.

salam

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger