Sabtu, 14 November 2009

Puasa Sunnah dan Permintaan Suami

Para fuqaha bersepakat disunnahkannya berpuasa hari-hari yang delapan sejak hari pertama dzulhijjah sebelum hari arafah berdasarkan hadits Ibnu Abbas marfu’,”Tidaklah ada hari-hari yang beramal shaleh didalamnya lebih dicintai Allah dari pada hari-hari ini—yaitu sepuluh hari—para sahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, tidak pula jihad di jalan Allah? Beliau saw menjawab,”tidak pula jihad di jalan Allah kecuali seorang yang keluar dengan jiwa dan harta lalu orang itu tidak kembali dengan membawa itu semua sama sekali.”

Para ulama Hambali mengatakan bahwa termasuk pula hari kedelapan yaitu hari tarwiyah. Para ulama Maliki berpendapat bahwa puasa hari tarwiyah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu. Para ulama Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa berpuasa pada hari-hari itu bagi seorang yang berhaji juga disunnahkan. Sementara para ulama Maliki mengecualikan dari hari-hari itu adalah hari tarwiyah bagi seorang yang berhaji. Didalam “al Matithiyah” disebutkan bahwa makruh bagi seorang yang berhaji berpuasa sunnah di Mina dan Arafah. Al Hatthob mengatakan bahwa Mina adalah hari tarwiyah, dia dinamakan juga dengan hari Mina. (al Mausu’ah al FIqhiyah juz II hari 9989)

Dari penjelasan diatas tidak satu pun ulama yang mengatakan bahwa puasa hari-hari pertama dari bulan dzulhijjah termasuk didalamnya puasa tarwiyah adalah kewajiban. Sementara itu diwajibkan bagi seorang isteri untuk menaati suaminya didalam perkara-perkara yang tidak ada maksiat didalamnya.

Firman Allah swt :


فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً


Artinya : “Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (QS. An Nisaa : 34)

Sabda Rasulullah saw,”Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk berhubungan kemudian dia tidak menyambutnya sehingga malam itu suaminya tidur dalam keadaan marah terhadapnya maka para malaikat akan melaknatnya hingga waktu shubuh.” (Muttafaq Alaih)


Sabda Rasulullah saw,”Seandainya aku (dibolehkan) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain maka pasti aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.” (HR. Muslim)

Memang seorang isteri memiliki hak untuk melakukan puasa tarwiyah atau arafah yang setahun. Namun seorang suami pun memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan dari isterinya ketika dirinya ingin berhubungan (jima’) dengannya pada saat dia berpuasa. Para ulama bersepakat bahwa hak suami lebih didahulukan daripada hak isteri, berdasarkan firman Allah swt :

Artinya : “Akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.” (QS. Al Baqoroh : 228)

Sabda Rasulullah saw,”Seandainya aku (dibolehkan) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain maka pasti aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.” (HR. Muslim)

Dan pada umumnya keinginan untuk berjima’ berawal dari suami sehingga sudah sepantasnya seorang isteri yang ingin berpuasa sunnah meminta izin terlebih dahulu dari suaminya sebelum melakukannya karena terkadang pada saat itu suaminya memiliki keinginan untuk berjima’ dengannya.

Hal ini juga dipertegas oleh sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairoh,”Tidak halal bagi seorang isteri berpuasa sementara suaminya ada bersamanya kecuali dengan izinnya.” (HR. Bukhori Muslim) sementara didalam lafazh Ahmad disebutkan,”Tidaklah seorang isteri berpuasa satu hari saja sementara suaminya ada bersamanya kecuali dengan izinnya kecuali puasa Ramadhan.” (Hadits ini dinyatakan hasan oleh Albani didalam “Shahih at Targhib)

Wallahu A’lam

Sabar Dalam Membangun Fondasi La Ilaha ill-Allah

Ketika Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat berda’wah di Mekkah sebelum hijrah ke Madinah, mereka memfokuskan da’wah Islam kepada urusan membangun fondasi kokoh berupa aqidah yang bersumber dari kalimat La ilaha ill-Allah. Mereka tidak bergesar dari tema fundamental ini karena mereka menyadari bahwa untuk mengubah masyarakat jahiliyyah tidak mungkin dilakukan kecuali dengan membongkar dari fondasinya kepercayaan, ideologi dan konsepsi masyarakat tersebut. Segenap kerusakan moral, ketimpangan sosial-ekonomi, impotensi kepemimpinan dan kezaliman sistem politik serta hukum bersumber dari ketidak-jelasan ideologi, kepercayaan dan konsepsi yang dimiliki masyarakat jahiliyyah. Sehingga percuma saja dilakukan upaya perbaikan bila dilakukan dengan semangat dan metode tambal-sulam. Diperlukan suatu langkah perombakan mendasar sebelum dilakukan upaya perbaikan pada dimensi moral, sosial-ekonomi, kepemimpinan, politik dan hukum yang berlaku. Oleh karena itu Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dengan tekun dan sabar menyerukan da’wah yang menitikberatkan pada pelurusan kepercayaan, ideologi dan konsepsi. Sebagaimana para Nabi dan Rasul lainnya beliau menyerukan pesan universal dan abadi yaitu:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu". (QS An-Nahl ayat 36)

Tidak ada seorang Nabi maupun Rasul kecuali mengajak umatnya masing-masing untuk memerdekakan diri dari penghambaan manusia kepada sesama manusia (yaitu Thaghut) untuk hanya menghambakan diri kepada Allah semata. Sembahlah Allah semata dan jauhilah Thaghut...! Dan sepanjang sejarah bilamana wujud suatu masyarakat jahiliyyah niscaya suburlah kehadiran aneka thaghut di dalam masyarakat tersebut. Sebaliknya bilamana berdiri suatu masyarakat berlandaskan kepercayaan, ideologi dan konsepsi aqidah Tauhid La ilaha ill-Allah, maka bersihlah masyarakat itu dari eksistensi thaghut. Seluruh masyarakat menyembah dan mengesakan Allah secara komprehensif, baik dalam aspek peribadatan, mu’amalat, hukum dan perundang-undangan maupun kepemimpinan. Berjalanlah masyarakat tersebut sarat dengan perlombaan dalam kebaikan menjunjung tinggi nilai-nilai dan hukum Rabbani. Tidak ada yang dipatuhi dan diberikan loyalitas pada prioritas pertama dan utama selain Allah Subhaanahu wa Ta’aala.


Selama mayoritas warga di dalam masyarakat masih tenggelam dalam kejahiliyyahan maka Nabi shollallahu ’alaih wa sallam terus menganjurkan seruan kalimat La Ilaha ill-Allah. Sebab inti kejahiliyyahan terletak pada kepercayaan, ideologi dan konsepsi yang mengakui dan menerima penghambaan manusia kepada sesama manusia, mematuhi para pemimpin yang tidak menjadikan Allah semata sebagai sumber utama pengabdian, loyalitas dan kepatuhan, baik dalam urusan ritual-peribadatan, nilai-nilai moral maupun sistem hukum dan perundang-undangan. Artinya, tidak mungkin sesaatpun Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memandang urusan pembenahan kepercayaan, ideologi dan konsepsi masyarakat menjadi perkara usang alias out of date apalagi jadul (urusan jaman dulu) sebelum tampak perbaikan hal ini pada mayoritas masyarakat yang menjadi sasaran da’wah beliau.

Tetapi resiko menempuh jalan menyerukan kalimat La Ilaha ill-Allah di dalam suatu masyarakat jahiliyyah ialah menghadapi reaksi keras penentangan. Inilah yang dialami oleh Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat. Dan ini pulalah yang akan dialami oleh siapapun yang konsisten menyerukan hal serupa di negeri manapun di zaman kapanpun. Sehingga bila tidak cukup sabar menempuhnya pastilah akan tergoda untuk mencari jalan lain yang kiranya bisa mendatangkan resiko yang lebih ringan bahkan diyakini bisa mendatangkan percepatan meraih kemenangan da’wah. Sahabatpun sempat mengalami kondisi seperti itu. Di antaranya apa yang tergambar dalam hadits berikut:


عَنْ خَبَّابِ بْنِ الْأَرَتِّ قَالَ شَكَوْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً لَهُ فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ قُلْنَا لَهُ أَلَا تَسْتَنْصِرُ لَنَا أَلَا تَدْعُو اللَّهَ لَنَا قَالَ كَانَ الرَّجُلُ فِيمَنْ قَبْلَكُمْ يُحْفَرُ لَهُ فِي الْأَرْضِ فَيُجْعَلُ فِيهِ فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ فَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُشَقُّ بِاثْنَتَيْنِ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ مِنْ عَظْمٍ أَوْ عَصَبٍ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَاللَّهِ لَيُتِمَّنَّ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لَا يَخَافُ إِلَّا اللَّهَ أَوْ الذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ

Dari Khabab bin Al-Arat ia berkata: ”Kami mengeluh di hadapan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam saat beliau sedang bersandar di Ka’bah. Kami berkata kepadanya: ”Apakah engkau tidak memohonkan pertolongan bagi kami? Tidakkah engkau berdoa kepada Allah untuk kami?” Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam kemudian bersabda: ”Dahulu seorang lelaki ditanam badannya ke dalam bumi lalu gergaji diletakkan di atas kepalanya dan kepalanya dibelah menjadi dua namun hal itu tidak menghalanginya dari agamanya. Dan disisir dengan sisir besi sehingga terkelupaslah daging dan kulitnya sehingga tampaklah tulangnya namun hal itu tidak menghalanginya dari agamanya. Demi Allah, urusan ini akan disempurnakanNya sehingga seorang penunggang kuda akan berkelana dari San’aa ke Hadramaut tidak takut apapun selain Allah atau srigala menerkam dombanya, akan tetapi kalian tergesa-gesa!” (HR Bukhary 3343)

Khabab merupakan salah seorang sahabat yang mendapat penyiksaan luar biasa dari kaum musyrikin semenjak ia masuk Islam. Ia datang kepada Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengeluhkan nasib para sahabat yang mengalami hal serupa dengan dirinya. Ia hanya memohon Nabi shollallahu ’alaih wa sallam agar mendoakan para sahabat tersebut, agar Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memohon pertolongan Allah bagi mereka. Ia tidak sampai mengusulkan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam agar merubah strategi berjuangnya. Ia tidak sedang menyatakan protesnya terhadap jalan penuh resiko karena menyerukan kalimat La Ilaha ill-Allah. Ia hanya memohon Nabi shollallahu ’alaih wa sallam agar mendoakan para sahabat agar mendapat pertolongan Allah.

Namun demikian, keluhan Khabab telah dibalas dengan jawaban tegas Nabi shollallahu ’alaih wa sallam. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengingatkan Khabab akan tabiat jalan da’wah yang telah ditempuh orang-orang beriman sepanjang masa. Ini bukanlah jalan melewati taman-taman bunga. Ini bukan jalan bagi mereka yang menyengaja merekayasa jalan da’wah agar menghasilkan berbagai kemudahan dan kesenangan duniawi. Ini bukan jalan bagi mereka yang ingin segera memperoleh kemenangan da’wah dengan meninggalkan seruan asli da’wah Islam yaitu proklamasi umum pembebasan manusia dari penghambaan kepada sesama manusia menjadi penghambaan manusia kepada Allah semata. Ini bukan jalan bagi mereka yang demi kekuasaan rela mengaburkan seruan La Ilaha ill-Allah menjadi seruan lain, seperti Nasionalisme atau Sosialisme atau bahkan Moralisme.

Ya Allah, teguhkanlah pendirian kami di atas jalanMu. Karuniakanlah sabar sejati di dalam diri kami. Peliharalah istiqomah kami dalam proyek pembangunan Tauhid di dalam diri, keluarga dan masyarakat kami.

Doa Untuk Memperoleh Ridho Allah

Seorang Muslim senantiasa mengharapkan Ridho Allah dalam setiap sepak terjang aktifitasnya. Sebab ia tahu bahwa hanya dengan memperoleh Ridho Allah sajalah hidupnya menjadi lurus, terarah dan benar. Seorang Muslim yang mengejar Ridho Allah berarti menjadi seorang beriman yang ikhlas. Orang yang ikhlas dalam ber’amal merupakan orang yang tidak bakal sanggup diganggu apalagi dikalahkan oleh syetan. Allah menjamin hal ini berdasarkan firmanNya dimana dedengkot syetan saja, yakni Iblis, mengakui ketidak-berdayaannya menyesatkan hamba-hamba Allah yang mukhlis.

قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ

وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ


”Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma`siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka". (QS Al-Hijr ayat 39-40)

Orang-orang yang telah menjadikan Ridho Allah semata sebagai tujuan hidupnya tidak mungkin dapat disimpangkan dari jalan yang benar. Mereka tidak mempan di-iming-imingi dengan kenikmatan apapun di dunia ini. Sebab mereka sangat yakin bahwa kenikmatan jannah (surga) yang Allah janjikan bagi mereka tidak bisa disetarakan apalagi dikalahkan oleh kenikmatan duniawi bagaimanapun bentuknya. Harta, tahta maupun wanita tidak mungkin mereka dahulukan daripada kenikmatan ukhrawi surgawi yang Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam sendiri gambarkan sebagai berikut:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللَّه

أَعْدَدْتُ لِعِبَادِي الصَّالِحِينَ مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ

وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ

Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: Allah berfirman: “Aku telah sediakan untuk hamab-hambaKu yang sholeh apa-apa yang tidak pernah mata memandangnya, dan tidak pernah telinga mendengarnya dan tidak pernah terbersit di dalam hati manusia.” ( HR Bukhary)

Hamba-hamba Allah yang mukhlis kebal terhadap berbagai ancaman manusia berupa siksa dan penderitaan duniawi apapun, karena bagi mereka tidak ada yang lebih menakutkan daripada ancaman Allah berupa siksa dan penderitaan hakiki di dalam neraka akhirat kelak. Mereka memiliki sikap seperti sikap para tukang sihir Fir’aun yang semula loyal kepada penguasa zalim tersebut, namun setelah menyaksikan betapa unggulnya kekuatan Allah lewat performa NabiNya Musa, maka akhirnya mereka bertaubat. Mereka selanjutnya meninggalkan (baca: baro’ alias berlepas diri dari) Fir’aun dan tidak menghiraukan ancamannya bagaimanapun bentuknya:

قَالَ آَمَنْتُمْ لَهُ قَبْلَ أَنْ آَذَنَ لَكُمْ إِنَّهُ لَكَبِيرُكُمُ الَّذِي عَلَّمَكُمُ السِّحْرَ فَلَسَوْفَ تَعْلَمُونَ لَأُقَطِّعَنَّ أَيْدِيَكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ مِنْ خِلَافٍ وَلَأُصَلِّبَنَّكُمْ أَجْمَعِينَ قَالُوا لَا ضَيْرَ إِنَّا إِلَى رَبِّنَا مُنْقَلِبُونَ إِنَّا نَطْمَعُ أَنْ يَغْفِرَ لَنَا رَبُّنَا خَطَايَانَا أَنْ كُنَّا أَوَّلَ الْمُؤْمِنِينَ

”Fir`aun berkata: "Apakah kamu sekalian beriman kepada Musa sebelum aku memberi izin kepadamu? Sesungguhnya dia benar-benar pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu maka kamu nanti pasti benar-benar akan mengetahui (akibat perbuatanmu); sesungguhnya aku akan memotong tanganmu dan kakimu dengan bersilangan dan aku akan menyalibmu semuanya". Mereka berkata: "Tidak ada kemudharatan (bagi kami); sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami, sesungguhnya kami amat menginginkan bahwa Tuhan kami akan mengampuni kesalahan kami, karena kami adalah orang-orang yang pertama-tama beriman". (QS Asy-Syuara ayat 49-51)

Orang-orang yang sibuk menggapai Ridho Allah semata dalam hidupnya sangat meyakini bahwa hanya Allah sajalah yang patut di jadikan prioritas utama kecintaan, kepatuhan dan rasa takut. Mereka berusaha untuk selalu mendahulukan Allah dalam setiap gerak-gerik hidupnya. Mereka sangat benci menyekutukan atau menduakan apalagi men-tigakan Allah, Rabbul’aalamiin. Sebab mereka sangat yakin bahwa Allah sajalah Raja di langit dan Raja di bumi. Sehingga dalam menyerahkan kecintaan, kepatuhan atau rasa takut kepada selain Allah mereka tidak akan pernah mau menyetarakan apalagi mendahulukan selain Allah. Sikap mereka kepada para pemimpin dan pembesar dunia adalah sikap yang sangat proporsional. Mereka hanya mau mentaati pemimpin yang senantiasa mengajak kepada meraih Ridho Allah juga. Namun bila pemimpin yang ada malah mengalihkan mereka dari mengejar Ridho Allah, maka bagi orang-orang mukhlis Ridho Allah jauh lebih utama didahulukan.

Kaum mukhlisin hanya meyakini bahwa jalan hidup yang sepatutnya dilalui hanyalah jalan hidup yang mendatangkan keridhoan Allah. Sedangkan Allah telah menegaskan bahwa hanya Islam-lah jalan hidup atau dien yang diridhaiNya.

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

”Sesungguhnya dien atau agama atau jalan hidup (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS Ali Imran ayat 19)

Sedemikian yakinnya kaum mukhlisin akan kebenaran pernyataan Allah di atas, sehingga di dalam hati mereka tidak tersisa lagi cadangan kepercayaan akan jalan hidup lainnya. Sebab semua jalan hidup lainnya bukan dari Allah yang mereka senantiasa kejar keridhaanNya. Jalan hidup lainnya hanyalah jalan hidup palsu bikinan manusia yang seringkali dihiasi dengan nafsu dan sikap zalim serta keterbatasan ilmu alias jahil atau bodoh. Orang-orang mukhlis tidak lagi menyisakan di dalam diri mereka kepercayaan akan Liberalisme, Pluralisme, Sekularisme, Kapitalisme, Sosialisme, Komunsime, Humanisme, Hedonisme apalagi Demokrasi. Semua jalan hidup itu bagi mereka tidak menjamin akan mendatangkan keridhoan Alllah. Padahal mereka sudah sangat yakin bahwa hidup tanpa keridhoan Allah adalah kehidupan yang merugi dan penuh ke-sia-siaan.

Kaum mukhlisin hanya meyakini bahwa Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam merupakan satu-satunya teladan dan prototype sempurna yang wajib diteladani segenap sepakterjang perjuangannya. Bilamana menempuh jalan uswah tersebut berakibat kepada munculnya kehidupan yang penuh kesulitan dan jalan mendaki, maka mereka dengan rela hati akan menempuhnya. Bila karena meneladani Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam, mereka harus mengalami pengucilan dan stigma negatif dari kebanyakan manusia, maka mereka dengan sabar terus menempuhnya. Tidak sedikitpun rayuan dan iming-iming maupun ancaman dan black campaign fihak musuh dapat menyimpangkan mereka dari jalan hidup teladan utama ini. Karena kaum mukhlisin sangat yakin bahwa menegakkan sunnah Nabi shollallahu ’alaih wa sallam merupakan satu-satunya jalan untuk meraih keridhoan Allah.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ

لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS Al-Ahzab ayat 21)

Sedangkan meninggalkan sunnah Nabi shollallahu ’alaih wa sallam hanya akan mengantarkan mereka kepada kesenangan sementara dunia namun mengakibatkan penderitaan abadi dan hakiki di dalam kehidupan akhirat kelak nanti. Apalah artinya ”seolah berjaya” sebentar di dunia untuk kemudian merugi dan menyesal selamanya di akhirat. Lebih baik bersabar sebentar di dunia untuk menikmati kesenangan dan kebahagiaan sejati lagi abadi di kampung halaman jannatun-na’iim.

Maka para pemburu Ridho Allah setiap hari senantiasa memperbaharui komitmen mereka dengan mengikrarkan di dalam dirinya kalimat “Aku ridha Allah sebagai Rabb dan Al-Islam sebagai dien (jalan hidup) dan Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam sebagai Nabi”. Pengulangan ikrar harian ini menjadi sangat penting sebab ia merupakan salah satu jalan untuk memastikan bahwa Ridho Allah menyertai mereka ketika sudah berjumpa Allah di hari Kiamat atau hari Berbangkit. Demikianlah anjuran Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam kepada ummatnya sebagaimana diterangkan di bawah ini:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَقُولُ حِينَ يُصْبِحُ وَحِينَ يُمْسِي ثَلَاثَ مَرَّاتٍ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُرْضِيَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Bersabda Rasulullah saw: “Tidak ada seorang Muslim yang membaca di pagi hari dan di sore hari sebanyak tiga kali “Aku ridha Allah sebagai Rabb dan Al-Islam sebagai dien (jalan hidup) dan Muhammad sebagai Nabi”, kecuali Allah pasti meridhainya pada hari Kiamat.” (HR Ahmad)

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ أَوْ إِنْسَانٍ أَوْ عَبْدٍ يَقُولُ

حِينَ يُمْسِي وَحِينَ يُصْبِحُ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا

إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُرْضِيَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Bersabda Rasulullah saw: “Tidak ada seorang Muslim atau seorang manusia atau hamba yang membaca di sore hari dan di pagi hari: “Aku ridha Allah sebagai Rabb dan Al-Islam sebagai dien (jalan hidup) dan Muhammad sebagai Nabi”, kecuali Allah pasti meridhainya pada hari Kiamat.” (HR Ibnu Majah)disadur dari eramuslim.

salam

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger