Minggu, 13 September 2009

Menghina Kemiskinan

-"..biarkanlah kami berusaha dengan kemiskinan kami. Jangan Abang paksa kami, untuk menerima sedekah itu."

Sepenggal dialog dalam sinetron Ramadan, Para Pencinta Tuhan 3 yang sedang diputar di salah satu stasiun TV nasional, antara Asrul, Udin Hansip dan Bang Jack menggelitik saya. Asrul, tokoh yang cukup terpelajar tapi tidak terampil menghasilkan uang hingga kesarjanaannya hanya menghasilkan ijazah, bukan uang. Sementara Udin adalah tokoh Hansip di lingkungan RW, dan Bang Jack adalah tokoh penjaga musala yang meskipun pengetahuan agamanya baik, tapi sangat egaliter dan disegani.

Dialog di atas cukup menggelitik saya karena dialog tersebut mengingatkan kepada kita bahwa seorang Asrul dan Udin yang miskin cukup punya 'izzah' (harga diri) untuk menjaga kehormatannya. Meski ia miskin tak serta merta selalu berharap pada sedekah orang.


Ia selalu ingin berusaha mencukupi kebutuhan keluarganya dengan caranya. Meski lingkungannya, digambarkan adalah lingkungan yang sangat peduli terhadap kemiskinan tapi Asrul tidak memanfaatkan itu sebagai alasan untuk selalu berharap pada pemberian orang. Karena 'ulahnya' ini, dikisahkan menyebabkan Jalal, tokoh kaya dermawan di kampung tersebut sering kesulitan menyalurkan sedekahnya.

Orang miskin, sering dipandang adalah orang yang hanya butuh diberi. Dengan memberi, maka kita sering merasa sudah puas dan nyaman, karena berarti sudah melaksanakan ajaran agama, berupa sedekah. Dengan memberi pula, kita merasa telah menolong orang dari kesulitannya. Bila ada orang miskin yang menolak pemberian kita, maka kita terkadang merasa terhina dan jengkel.

"Sudah miskin, sombong pula", begitu sering diucapkan bila kita gagal memberi kepada orang yang dianggap miskin. Padahal, tidak semua orang miskin selalu mau diberi, bila pemberian itu dianggap akan menginjak-injak harga diri dan martabatnya. Maka, memberi pun perlu kesantunan dan kecerdasan. Kesantunan waktu memberi, kecerdasan bagaimana cara memberi.

Memberi tanpa menghinakan. Kalimat sederhana, tapi mungkin sulit dilakukan. Karena penghinaan itu sering tak tampak dan terasa oleh kita. Terkadang dengan memberi, seolah-olah memberikan mandat kepada kita bahwa posisi kita lebih tinggi daripada yang diberi.

Maka, membagikan sedekah dengan cara menyuruh orang berduyun-duyun antre sedekah pun jamak dilakukan. Tak peduli sering jatuh korban karena berjubelnya antrean. Mungkin karena dengan cara begitu, seakan-akan bisa menunjukkan kedermawanan, meneguhkan posisi 'lebih tinggi' serta bisa memberikan rasa nyaman di hati karena langsung bersentuhan dengan orang miskin.

Meski memberi lebih baik daripada meminta-minta tapi tak serta merta posisi yang diberi selalu lebih rendah dari yang diberi. Bukankah kita tidak bisa jadi pemberi, kalau tidak ada orang yang mau diberi?

Maka pada posisi ini, yang memberi dan diberi, seharusnyalah pada posisi sejajar. Memang, tak semua orang miskin mempunyai harga diri seperti Asrul. Tapi tetaplah itu tidak bisa menjadi alasan untuk kita merendahkan posisi orang miskin. Bukankah Rasul sangat mencintai orang miskin? Maka marilah memberi dengan cinta. Wallahua’lam.

"Cintailah kaum miskin dan dekatlah kepada mereka. Jika kamu mencintai mereka, Allah akan mencintai kamu. Jika kamu dekat kepada mereka, Allah akan dekat kepada kamu.jika kamu memberi pakaian kepada mereka, Allah akan memberi pakaian kepada kamu. Jika kamu memberi makanan kepada mereka, Allah akan memberi makan kepada kamu. Dermawanlah kamu, niscaya Allah akan membalas kedermawanan kamu." (HR. Dailami) Wallaahualam Bishawab

disadur dari Rini.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger