Kamis, 21 Januari 2010

Asal usul taat dan maksiat

Keluarlah dirimu dari sifat-sifat hawa nafsu kemanusiaan mu, sifat-sifat yang bisa merusak ubudiyah mu, agar panggilan Allah bisa di respon positif dan kedekatan dengan Allah senantiasa hadir.

Sehari-hari kita sering mengucapkan kata-kata seperti "......itukan manusiawi...", atau wajarlah kita sebagai manusia...dsb.
Yang sesungguhnya merupakan ekspresi dari sisi-sisi nafsu kita yang bicara, ketika kita mencari dalih pembenaran atas kesalahan kita.

Sifat-sifat manusiawi yang sering kita jadikan alibi , itulah yang sesungguhnya berkembang secara negatif dalam pertumbuhan spiritual kita. pada saat yang sama jelas menghambat hubungan kita degan Allah swt.


Hikmah di atas sebagai kelanjutan dari masalah hijab, masalah yang menghalangi pandangan mata hati nurani kita kepada Allah. Oleh sebab itu element yang perlu di angkat berikutnya tentu bagaimana seseorang bisa keluar dari hijab dirinya sendiri, yg bersarang pada sifat-sifat manusiawi diatas.

Menurut Syeikh Zaruq, sifat-sifat manusiawi itu terbagi menjadi 2 bagian:
Pertama: Sifat-sifat relevan dengan Ubudiyah, seperti sifat ta'at, menjaga jiwa, maupun sifat yang terpuji.

Kedua: Sifat yang bisa merusak Ubudiyah sperti maksiat, syahwat dan ke alpaan.

Dimaksudkan keluar dari sifat manusiawi adalah sifat yang mendorong seseorang untuk alpa, maksiat dan syahwat. itulah yang merusak (destruktif) terhadap ibadah. sekaligus juga menjauhkan kehadiran Ilahi di hari kita.

Keluarnya "Diri" itu merupakan syarat dari panggilan Ilahi.
Orang yang di penuhi oleh hawa nafsunya tidak akan mendengar panggilan Ilahi dan cenderung melempar jauh-jauh suara Ilahiyah itu. Misalnya panggilanNya: "Wahai orang-orang beriman....Wahai Ummat manusia...Wahai Nabi....Wahai Insan... dsb. Yang senantiasa bergema di telinga hati nurani kita.

Ja'far ash-Shadiq ra, pernah berkata bila kamu mendengar panggilan: "Wahai orang-orang beriman....., maka simaklah, sebab panggilan itu berisi perintah atau larangan". Jawaban atas Ilahi itu terbagi dalam 3 hal:
- Membenarkan
- Mengamalkannya
- Hasratnya hanya untuk Allah dalam mengamalkannya itu.

Sultonul Aulia Syeikh Abul Hasan As-Syadzily, menegaskan, "Apabila Allah memuliakan hambanya dalam gerak dan diamnya maka Allah memberikan bagian Ubudiayahnya hanya untuk Allah dalam pandangan hati nuraninya, sedangkan bagian-bagian gerak hawa nafsunya di tutupi". Allah menjadikan si hamba itu senantiasa keluar masuk, bolak-balik dalam situasi Ubudiyah sementara hasrat hawa nafsunya tertutupi oleh nuansa yang berlangsung dalam takdir yang menyelimuti, bahkan sama sekali tidak berpaling pada nafs itu.

Sebaliknya apabila Allah merendahkan seorang hamba dalam gerak dan diamnya maka hasrat hawa nafsunya di buka dan hasrat Ubudiyahnya di tutup, lalu hamba itu berputar-putar pada syawat hawa nafsunya, sedangkan Ubudiyahnya seakan-akan lepas dari dirinya. Walaupun kelihatan secara lahiriyah dia beribadah.
Dari sinilah Ibnu Atha'ilah melanjutkan bahwa hawa nafsu itulah sumber segala bencana.
"Asal usul maksiat, syahwat dan kealpaan, adalah kerelaan kita pada hawa nafsu".
Apakah maksiat itu? maksiat adalah tindakan yang meyimpang dari perintah Allah dan menerjang laranganNYA. Sedangkan menuruti hawa nafsu itu berarti menyalurkan kompensasi hawa nafsu untuk mencari kesenangan. Sementara di maksud dengan kealpaan adalah mengabaikan tindakan sunnah dan wajib, begitu juga ketika melakukan kewajiban disertai orientasi hawa nafsu, tergolong kealpaan pula.

Kerelaan terhadap hawa nafsu itu tanda-tandanya ada 3:
- Melihat kebenaran menurut selera dirinya.
- Memanjakan hawa nafsu.
- Memejamkan mata dari aib-aib hawa nafsu itu sendiri. Sehingga jauh dari penyucian jiwa.

Sebaliknya asal-usul ketaatan, mawas diri dan sadar diri adalah ketidakrelaan pada hawa nafsu. Tanda ketidakrelaan kita pada hawa nafsu adalah :
- Curiga pada siasat hawa nafsu.
- Waspada pada bahayanya.
- Dan menekan hawa nafsu dalam berbagai kesempatan.

Abu Hafs Al-Haddad ra, berkata siapa yang tidak curiga pada hawa nafsunya sepanjang waktu, tidak menetangnya dalam semua prilaku, tidak menekannya pada hari-harinya, maka orang itu telah terpedaya. Siapa yang memandang hawa nafsu itu dengan pandangan yang indah, maka hawa nafsu itu telah menghancurkan dirinya. Bagaimana orang yang waras akalnya akan rela pada hawa nafsunya. Disadur dari KH. M luqman Hakim MA

salam
--------------------

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger